Senin 18 May 2015 17:12 WIB

Mau Bersaing, Infrastruktur Pariwisata Syariah Harus Siap

Rep: Fuji Pratiwi/ Red: Satya Festiani
Pariwisata syariah.
Foto: ROL/Agung Sasongko
Pariwisata syariah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sadar ketatnya persaingan untuk melejitkan pariwisata syariah, semua pihak harus mempersiapkan diri, terutama infarastruktur.

Ketua Umum Asosiasi Biro Perjalanan Indonesia (ASITA) Asnawi Bahar mengungkapkan, terkait pariwisata syariah, biro perjalanan tidak akan menjual produk yang belum siap. Apalagi selera wisatawan asing dari Timur Tengah tergolong tinggi.

''Intinya harus disiapkan dengan baik, terutama Infrastruktur. Ini penting karena berkaitan dengan kepuasan. Isu kecil yang kurang menyenangkan bisa berdampak besar,'' tutur Asnawi dalam forum diskusi pariwisata dan gaya hidup halal yang digelar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), beberapa waktu lalu.

Salah satu persoalannya belum semua daerah menjadikan wisata sebagai sumber pendapatan. Pintu masuk ke Indonesia ada 19, tapi yang dipakai baru Batam, Bali, dan Jakarta. Belum lagi bandara yang kecil dan terbatas fasilitasnya.

Selain kesiapan, bicara wisata syariah juga soal segmen dan upaya bersama. Malaysia memulai pergerakan industri ini dengan pendekatan kepala negara mereka dengan kepala negara Kawasan Teluk sampai akhirnya antar korporasi. Butuh diplomasi politik untuk itu.

Atraksi juga harus dikenalkan, termasuk dengan budaya lokal. SDM yang terlibat pun perlu disiapkan. Soal promosi, pemerintah juga baiknya melibatkan industri.

Ketua Umum Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengatakan, pembangunan infrastruktur juga harus seimbang dengan pengembangan pariwisata syariah, baik makanan maupun sarana yang memfasilitasi perkembangan gaya hidup.

Pomosi sektor ini juga belum disatukan dalam kampanye terintegrasi pemerintah dengan industri. Padahal, ada momen seperti Ramandhan, yang bisa dimanfaatkan.

Undang-undang jaminan produk halal pun jadi kekuatan sendiri bagi Indonesia. Meski awalnya sempat muncul keberatan dengan undang-undang itu karena sifat sertifikat yang hanya dua tahun dan pengalihan dari sukarela menjadi wajib.

''Saat itu kami khawatir ada pencari rente baru. Industri akan menyambut baik jika prosesnya mudah dan murah. Tapi hikmahnya, ini bisa jadi pendorong luar biasa, modal besar untuk pariwisata syariah,'' kata Hariyadi.

Ia mengungkapkan, pariwisata syariah jangan disalahtafsirkan dengan ziarah saja. Sebab pada dasarnya pariwisata ini sama saja seperti wisata biasa dengan memberi kemudahan bagi wisatawan Muslim menjalankan kebutuhannya sebagai Muslim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement