REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sama-sama tengah giat mengembangkan sektor pariwisata halal, Jepang dan Indonesia memiliki pendekatan tersendiri.
Akademisi, praktisi dan Ketua Dewan Masjid Nagoya Jepang
Profesor Yamamoto menuturkan, Muslim di Jepang hanya 50 ribu, 90 persennya pun warga asing. Sehingga sangat sedikit kesempatan masyarakat Jepang secara umum untuk berinteraksi dengan Muslim. Karena itu, industri halal di sana agak sulit dikembangkan.
Rata-rata kunjungan wisatawan ke Jepang lima hingga delapan juta orang per tahunnya. Pada 2013, jumlah wisatawan masuk 10 juta orang dan mencapai 13 juta orang pada 201.
''Tapi, dengan jumlah itu saja Jepang baru di peringkat 27 tujuan wisata dunia, kalah dari Korea, Malaysia dan Thailand. Ini pun sudah didorong faktor yang memudahkan wisatawan mancanegara,'' tutur Yamamoto dalam forum diskusi 'Indonesia Menjadi Unggulan Wisata dan Gaya Hidup Halal Global, beberapa waktu lalu.
Yamamoto mengungkapkan, Pemerintah Jepang belum lama menggiatkan pariwisata. Badan pariwisata baru dibuat Pemerintah Jepang pada 2008.
Pada 2012, Pemerintah Jepang melakukan kelonggaran moneter sehingga uang beredar jadi banyak jumlahnya. Situasi Jepang berubah, pendapatan perusahaan meningkat, meski nilai yen anjlok dari 90 yen jadi 120 yen per satu dolar AS.
''Dengan kelonggaran moneter, nilai yen murah dan kunjungan wisatawan mancanegara meningkat. Tapi ada masalah juga, hubungan Jepang, Korea dan Cina makin buruk karena sengketa pulau-pulau di laut yang berpotongan di laut tiga negara ini,'' ungkap Yamamoto.
Ia mengatakan, 70-80 persen wisatawan ke Jepang berasal dari Cina dan Korea. Konflik membuat jumlah kunjungan mereka turun. Beruntung, penurunan kunjungan wisatawan mancanegara tertahan kunjungan wisatawan asal ASEAN terutama dari Malaysia dan Indonesia yang mayoritas Muslim.
''Tapi industri pariwisata tidak siap. Karena itu, Pemerintah meminta bantuan Masjid Nagoya. Ada beberapa hal yang kemudian diperhatikan pemerintah seperti tempat shalat,'' kata Yamamoto.
Kepada pengusaha hotel dan makanan, diberi informasi seputar halal, bagaimana standarnya, dan mempertahankan standar itu. Minimal, memisahkan makanan berbahan non halal dengan makanan halal serta menyediakan makanan vegetarian.
Ia menilai, adanya standar dan mempertahankannya merupakan hal penting, baik standar yang dibuat bersama oleh asosiasi atau pemerintah.
Wakil Kedua Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) dan pendiri Karim Consulting Indonesia Adiwarman Karim mengatakan, Indonesia jadi kiblat keuangan Islam, makanan halal, fashion Islam, dan hiburan Islami.
Dalam pariwisata ada dua bagian, alam dan buatan. Wisata buatan bisa hebat, tapi belum tentu berkelanjutan. Yang harus ada adalah alam dan alami, nilai Islam yang mengindonesia.
''Indonesia punya apa yang tidak dimiliki negara lain. Ini modal. Sebab apapun istilah yang digunakan, yang terpenting dari wisata halal adalah esensinya tersampaikan,'' ungkap Adiwarman.
Untuk mendorong pengembangan sektor riil ini, DSN menggunakan beberapa pendekatan. Pertama, jika tidak bisa halal semua, tidak ditinggalkan semua. Ke dua, ambil pelajaran dari makna, bukan sekadar kalimatnya saja.
''Ini agar bagaimana caranya agar kebaikan mendominasi, karena tidak mungkin keburukan akan hilang sepenuhnya,'' kata Adiwarman.
Ke tiga, memisahkan halal dan haram. Saat jelas mana yang halal dan haram, konsumen bisa memilih. Keempat, sampaikan informasi dengan bahasa yang mudah dipahami.