Kamis 14 May 2015 14:47 WIB

Kebijakan Sawit Mesti Responsif Gender

Rep: Sonia Fitri/ Red: Satya Festiani
Kelapa sawit.  (ANTARA/Puspa Perwitasari)
Foto: ANTARA/Puspa Perwitasaripus
Kelapa sawit. (ANTARA/Puspa Perwitasari)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para buruh perkebunan sawit masih rentan tersandung permasalahan sosial seperti isu seperti konflik tanah, konversi lahan pangan, kerja paksa yang makin marak serta urusan marginalisasi perempuan. Karenanya, LSM Sawit Watch meminta pemerintah berpegang pada prinsip responsif gender ketika menyusun dan menetapkan kebijakan terkait.

“Data kami di 2014, terdapat 776 komunitas yang mempunyai konflik dengan perusahaan perkebunan kelapa dan telah mengakibatkan kriminalisasi terhadap masyarakat termasuk perempuan,” kata Ketua LSM Solidaritas Perempuan Puspa Dewy dalam rilis yang diterima Republika pada Kamis (14/5).

Perubahan tata kelola sumberdaya alam lokal, kata dia, menjadikan perkebunan kelapa sawit skala besar memberikan beban ganda, sehingga posisi perempuan semakin rentan karena mereka telah merampas sumber kehidupan perempuan dan menghancurkan kearifan lokal.

Dikatakannya, ekspansi perkebunan sawit justru akan berkontribusi kepada peningkatan emisi karbon. Ini tentunya bertolak belakang dengan komitmen penurunan emisi yang sudah dan akan dibuat oleh pemerintah Indonesia di berbagai perjanjian iklim internasional. Selain itu, dampak ekspansi perkebunan sawit juga makin menjauhkan Indonesia dari cita-cita keadilan iklim.

Oleh karena itu, ia bersama aktivis lingkungan lainnya mendesak Pemerintah untuk segera menyusun langkah-langkah strategis dalam upaya penanganan perubahan iklim dengan pendekatan rendah karbon yang melindungi kedaulatan pangan, juga inklusif, sensitif dan responsif gender.

Menyoal ekspansi sawit, LSM Wetlands International Indonesia Iwan Tricahyo Wibisono menambahkan, kebijakan pemerintah terkait pembangunan justru makin mendorong ekspansi perkebunan sawit skala besar. Dikatakannya, awal Februari 2015, Komisi VII DPR-RI memutuskan untuk memberikan subsidi biodiesel sebesar Rp 4 ribu/liter dan subsidi bioethanol Rp 3 ribu/liter kepada produsen.

“Ambisi pemerintah Indonesia untuk tetap menjadi negara nomor satu sebagai produsen crude palm oil akan bertolak belakang dengan semangat menurunkan emisi gas rumah kaca,” kata dia. Diterangkannya, emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan dari lahan gambut yang terdrainase dengan kedalaman air tanah gambut rata-rata 0,7 meter adalah 65 ton/CO2/Ha/tahun.

Hingga tahun 2014, total luas perkebunan sawit di lahan gambut telah mencapai lebih dari 11,5 juta Ha. Ini berarti total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit pada tahun 2014 mencapai 747,5 juta ton CO2.

Ditegaskannya, keberadaan perkebunan sawit skala besar telah banyak menghasilkan dampak negatif, baik dari segi lingkungan maupun sosial. Selain deforestasi dan kebakaran hutan, perkebunan sawit juga menguras air gambut dalam jumlah besar, mencemari sumber air dengan bahan-bahan kimia yang dipakai selama berlangsungnya budidaya sawit serta menimbulkan gangguan terhadap mata pencaharian masyarakat di sekitarnya.

“Keberadaan kanal-kanal di lahan gambut berfungsi sebagai saluran drainase yang menyebabkan terkurasnya air gambut, lalu gambut menjadi kering, mudah terbakar dan mengalami subsiden serta tanaman kelapa sawit di atasnya tumbang,” tuturnya. Kondisi tergenangnya perkebunan sawit di lahan gambut sudah banyak terjadi di Riau.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement