REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Plt Dirjen Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Winny Dian Wibawa menyebut, laporan mengenai daya beli petani yang rendah jelang panen merupakan suatu anomali, ketidaklaziman.
"Memang ini agak anomali, panen raya besar, tapi harga di pasar tinggi, kita pun masih bertanya-tanya, sedang dicek," kata dia kepada ROL, Selasa (5/5). Padahal, perusahaan penggilingan pun saat ini tengah membutuhkan pasokan beras untuk mengisi stok mereka. Maka jika daya beli petani rendah, hal tersebut diduga disebabkan harga jual petani yang lebih rendah dari pada harga barang di pasar dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari petani.
Situasi seperti ini juga diindikasi disebabkan oleh keberadaan harga gabah yang di bawah harga pembelian pemerintah (HPP) disebabkan kadar airnya yang tinggi. Tapi Kementan mengklaim, berdasarkan pantauan, ada di beberapa daerah yang justru harga gabahnya tinggi sehingga petani memeroleh untung besar.
Faktor eksternal juga menjadi penyebab daya beli masyarakat yang tinggi. "Pestisida mahal. Rupiah masih terdepresiasi," tuturnya. Situasi model begitu membuat pengeluaran petani menjadi semakin membengkak. Dan analisis Winny, jika pemerintah tidak menggulirkan kebijakan HPP, maka tingkat daya beli petani akan lebih parah terjun bebasnya.
Maka kepada Bulog, ia mendorong agar penyerapan beras petani sesuai HPP terus digencarkan. Bulog harus lebih jeli bekerja sama dengan para petani. Merespons tanggap kawasan mana yang sedang panen dan berpotensi diserap dengan maksimal.
Menyoal pengadaan alat pengering gabah yang digadang-gadang jadi solusi kadar air gabah yang tinggi agar bisa segera dibeli Bulog, Winny menyebut hal itu sudah diwacanakan, tapi eksekusinya tidak dalam waktu dekat. Maka tugas yang terpenting saat ini adalah melakukan penyerapan beras petani oleh Bulog secara maksimal. Dan Kementan mengaku siap menggilirkan bala bantuan dalam hal data kawasan mana yang panen.