Sabtu 18 Apr 2015 03:37 WIB

'Sudah Saatnya Kualitas BBM Ditingkatkan'

Seorang petugas melayani penjualan bahan bakan minyak (BBM) di salah satu SPBU Kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (18/3).  (Republika/Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Seorang petugas melayani penjualan bahan bakan minyak (BBM) di salah satu SPBU Kawasan Tanah Abang, Jakarta, Rabu (18/3). (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Rencana pemerintah menghapus bahan bakar minyak bersubsidi jenis premium perlu didahului dengan sosialisasi yang menyeluruh di masyarakat, kata pakar energi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Deendarlianto.

"Kalau akhirnya rencana itu direalisasikan, tentu tidak bisa tiba-tiba," katanya di Yogyakarta, Jumat (17/4).

Menurut dia, rencana pemerintah menghapus premium dengan kadar oktan RON 88 menjadi RON 92, selain mempertimbangkan kesiapan masyarakat, juga perlu mempertimbangkan dampak penjualan di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

Selain itu, kata dia, perubahan RON 88 menjadi RON 92 juga lebih mempertimbangkan aspek peningkatan kualitas BBM serta dampaknya bagi mesin dan lingkungan dibanding kepentingan bisnis.

"Paling penting bisa ramah lingkungan dan mesin, bukan semata-mata bertujuan menghilangkan kartel migas," kata dia.

Menurut Deendar, saat ini memang sudah saatnya kualitas BBM di Indonesia ditingkatkan. Saat ini standar BBM Indonesia masih berkutat pada level euro 2. Padahal euro 2 telah lama dintinggalkan Eropa sejak 14 tahun lalu, dan telah beranjak dengan standar euro 5.

"Saya memang lebih setuju kualitasnya ditingkatkan mengikuti standar internasional, setidaknya bisa naik ke euro 3 atau 4," kata dia.

Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi telah memberikan rekomendasi terkait formula harga BBM bersubsidi tanpa skema ron 88, seperti saat ini, dan digantikan Ron 92 atau dikenal dengan sebutan pertamax dari Pertamina.

Sementara itu, Menteri ESDM Sudirman Said di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (17/4) menyatakan rencana penghapusan BBM jenis premium hingga saat ini masih dikaji pemerintah dan lembaga lain.

"Pemerintah sedang mengkaji bersama Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), jadi kita tunggu saja bagaimana hasil kajian itu," kata Sudirman.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement