Senin 13 Apr 2015 17:30 WIB

Pengamat: Pemerintah Kurang Tegas Soal Freeport

Rep: C84/ Red: Julkifli Marbun
Seorang warga membubuhkan tanda tangan sebagai dukungan mengusir Freeport dari Indonesia di Bundaran HI, Jakarta Pusat.
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Seorang warga membubuhkan tanda tangan sebagai dukungan mengusir Freeport dari Indonesia di Bundaran HI, Jakarta Pusat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berencana segera mengusulkan kepada presiden Joko Widodo terkait kepastian perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Tim Penelaah Pembangunan Smelter Nasional Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Said Didu mengatakan, Kementerian ESDM akan mengajukan percepatan perpanjangan kontrak Freeport ini tahun ini.

"Kalau di kontraknya Freeport punya hak memperpanjang dua kali setelah 2021. Tapi yang mau kita tempuh adalah mempercepat perubahan KK (Kontrak Karya) menjadi IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus)," jelas Said, Ahad (12/4).

Seperti diketahui, masa kontrak Freeport akan berakhir pada 2021, yang artinya permohonan perpanjangan kontrak bisa dilakukan paling cepat baru 2019. Said pernah mengatakan, dengan berbagai pertimbangan, pemerintah akan merevisi beleid tersebut. Dengan begitu, Freeport dan perusahaan tambang lain bisa mengajukan permohonan perpanjangan lebih awal.

Menanggapi hal ini, pakar energi Andang Bachtiar menilai pemerintah kurang tegas dalam menyikapi persoalan ini.

"Terkait Smelter, seharusnya mereka sudah dari dulu menyiapkan itu. Tapi, pemerintah kita kurang tegas, dan baru mulai ditegaskan kemarin itu kan, tapi tetep saja masih nego," ujarnya saat ditemui Republika di Hotel Santika, Jakarta Barat, Senin (13/4).

Ia berharap pemerintah memiliki kekuatan cukup dalam melakukan negoisasi dimana pada dasarnya ada implikasi, reward, dan punishment yang jelas dalam persoalan tersebut.

Anggota Dewan Energi Nasional itu juga berharap permasalahan ini harus dijaga betul lantaran menyangkut Sumber Daya Alam terbesar di Indonesia dari sektor tembaga. Ia menambahkan, masih banyak hal yang perlu dibenahi dari sisi internal pemerintah, seperti yang juga terjadi pada Blok Mahakam.

"Seharusnya lebih tegas, seperti Blok Mahakam, sudahlah tidak usah pakai Total dan Inpex," lanjut Andang.

Ia menegaskan segala permasalah yang terjadi dalam sektor ini lantaran kebodohan kita sendiri dimana banyak kontrak yang terjadi sama seperti kasus Freeport, yang membuat kita mau tidak mau melakukan negoisasi kembali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement