Kamis 09 Apr 2015 01:00 WIB

Rendahnya Kepatuhan Dinilai Masalah Klasik Pajak

Rep: Satria Kartika Yudha/ Red: Yudha Manggala P Putra
Kampanye Generasi Muda Pedupi Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Kampanye Generasi Muda Pedupi Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat perpajakan Yustinus Prastowo tidak heran dengan rendahnya realisasi penerimaan pajak hingga Maret 2015 yang baru mencapai 13 persen atau Rp 170 triliun. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyebut hal ini disebabkan karena rendahnya kepatuhan wajib pajak (WP).

"Ini memang masalah klasik dalam perpajakan Indonesia. Sehingga, tidak heran kalau penerimaan masih rendah," kata Yustinus kepada Republika.

Yustinus mengatakan masalah klasik tersebut belum bisa terselesaikan karena pemerintah seperti tidak memikirkan untuk membangun sistem kepatuhan wajib pajak. Sistem kepatuhan, kata dia, bisa dibangun dengan menyelaraskan nomor induk kependudukan dengan nomor pokok wajib pajak (NPWP).

"Sekarang kan nomor KTP dengan NPWP beda. Ini jadi pekerjaan rumah yang besar buat pemerintah," kata Yustinus.

Selain itu, Ditjen Pajak juga harus bisa menggandeng sejumlah pihak mulai dari tokoh masyarakat hingga pemerintah daerah untuk menyadarkan orang-orang yang sudah sepatutnya menjadi wajib pajak.

Meski begitu, Yustinus menganggap rendahnya penerimaan pajak hingga Maret 2015 ini bukan semata karena tingkat kepatuhan wajib pajak. "Kepatuhan WP kan sudah terjadi sejak lama. Tapi kenapa, realisasi pada Januari-Maret 2015 ini lebih rendah dari periode yang sama pada tahun lalu. Berarti ada faktor lain," ucapnya.

Yustinus menanganggap faktor utamanya karena perlambatan ekonomi sehingga menekan laju impor. "Kalau impor menurun, maka penerimaan dari PPN impor sudah pasti berkurang. Ada indikasi masyarakat kita memang menahan konsumsinya," ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement