Rabu 01 Apr 2015 21:32 WIB

Bahan Makanan Deflasi, Pengamat: Kami Gagal Paham!

Rep: C84/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Inflasi Maret 2015: Aktivitas jual beli bahan makanan di Pasar Rumput, Jakarta, Rabu (1/4).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Inflasi Maret 2015: Aktivitas jual beli bahan makanan di Pasar Rumput, Jakarta, Rabu (1/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mempertanyakan data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam menetapkan inflasi sebesar 0,17 persen pada Maret 2015.

Ia mempertanyakan BPS dalam menetapkan deflasi sebesar 0,73 untuk komoditi bahan makanan. "Ini yang dicatat dari pasar mana, daging, telur, dan minyak minyak kan tidak ada yang turun harganya. Jangan mentang-mentang minyak sawit dunia turun, minyak curah dan minyak goreng nyatanya tidak ada yang turun," ujarnya kepada Republika, Rabu (1/4).

Padahal, menurutnya masyarakat sudah teriak-teriak atas naiknya harga-harga bahan makanan tersebut dimana kedelai dan beras naik. Ia menilai deflasi sebesar 0,73 persen untuk bahan makanan sangatlah besar.

Sedangkan, dari sektor lain seperti pangan, kesehatan, dan trasnportasi tidak ada masalah. Enny menilai deflasi sebesar 0,08 persen pada sandang cukup masuk akal mengingat banyak barang tidak bisa keluar dari gudang dan terpaksa harganya turun karena masyarakat lebih mengutamakan hal-hal yang bersifat primer.

"Kalau kesehatan, saya tidak begitu komplain karena tidak ada pemicu untuk membuatnya naik secara signifikan, jadi kalau inflasi sebesar 0,64 persen masih wajar," sambung Enny.

Terkait tentang inflasi sebesar 0,77 persen pada transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan ia menilai wajar mengingat adanya wacana kenaikan BBM beberapa waktu lalu. Ia menilai jika bahan makanan memiliki deflasi yang besar pasti inflasinya akan rendah.

"Yang lain masuk akal, yang agak bingung di bahan makanan. Intinya kami gagal paham mengapa bahan makanan deflasinya tinggi sementara yang dihadapi masyarakat di pasar ketika mereka belanja masih tinggi harganya," terang Enny.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement