REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dapat mengganggu pencapaian pertumbuhan ekonomi sesuai Anggaran Pendapatan Belanja Negara 2015 yang ditargetkan 5,7 persen, kata ekonom Universitas Gadjah Mada, Tony Prasetiantono.
"Untuk mencapai 5,7 persen sesuai target pertumbuhan ekonomi (2015) sepertinya akan sulit," katanya di Yogyakarta, Selasa (24/3).
Saat ini rupiah menembus level Rp 13 ribu per dolar AS atau jauh melebihi perkiraan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 yang dipatok sebesar Rp 12.500 per dolar AS.
Menurut dia, dengan terjadinya penguatan dolar terhadap rupiah, maka kalangan investor yang menanamkan modalnya di berbagai sektor di Indonesia mulai mengevaluasi ulang keputusannya dengan melakukan "wait and see". Bahkan memiliki kecenderungan untuk lebih memilih menyelamatkan asetnya. "Apalagi ditambah dengan adanya tanda-tanda Amerika akan menaikkan suku bunganya," kata dia.
Menghadapi situasi itu, menurut Tony, pemerintah sebaiknya segera melakukan upaya evaluasi dengan melihat kembali pertumbuhan ekonomi pada 2014 untuk diaktualisasikan dalam program-program pembangunan tahun ini secara lebih optimal dan efektif.
Selain itu, meskipun tidak terlalu signifikan, ia menilai, persoalan yang berkaitan dengan stabilitas politik dalam negeri juga tidak kalah memengaruhi tingkat penurunan sentimen investor. "Situasi politik yang tidak menentu ditambah penurunan nilai tukar rupaih, tentu akan mengganggu pertumbuhan ekonomi yang ditergatkan," kata dia.
Kepala Kantor Bursa Efek Indonesia (BEI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Irfan Noor Riza mengatakan stabilitas politik dan keamanan dianggap penting bagi investor untuk menentukan akan menanamkan modalnya atau tidak. Apabila pemerintah tidak mampu menjaga kestabilan politik, maka investor akan menarik modal dengan melakukan aksi ambil untung (profit taking) dengan menjual sahamnya.
Sementara itu, penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang mampu menyentuh Rp 13 ribu pada awal Maret 2015, menurut dia, memiliki dampak penurunan harga saham namun tidak signifikan. "Dengan iklim politik yang tidak menentu maka investor akan berhati-hati untuk memutuskan menanamkan modalnya," kata dia.