REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Bank Dunia Ndiame Diop menilai target penerimaan pajak yang dicanangkan pemerintah dalam APBN-Perubahan 2015 sebesar Rp1.489,3 triliun sulit tercapai karena terlalu ambisius.
"Target penerimaan perpajakan 2015 terlalu ambisius, karena harga komoditas sedang menurun. Selain itu, penerimaan dari sektor migas ikut menurun, terpengaruh pergerakan harga minyak dunia," katanya di Jakarta, Rabu.
Ndiame menjelaskan penerimaan perpajakan sulit untuk mencapai target dalam beberapa tahun terakhir karena adanya perlambatan ekonomi dan penurunan harga komoditas dunia. Namun, untuk tahun ini penurunan harga minyak ikut mempengaruhi pendapatan.
"'Shortfall' tidak terhindarkan, apalagi di 2015 ini ada penurunan tajam harga minyak yang bisa mempengaruhi target penerimaan negara bukan pajak. Pemerintah harus bekerja keras, mengingat realisasi penerimaan hingga Maret, masih di bawah potensinya," ujarnya.
Ndiame mengatakan berbagai upaya Direktorat Jenderal Pajak, termasuk melakukan revisi beberapa peraturan untuk mencari potensi pajak baru, masih belum optimal tahun ini karena baru bisa terlihat dampaknya pada 2016.
Selain itu, tambah dia, apabila target penerimaan tidak mendekati potensinya maka mau tidak mau pemerintah harus menyesuaikan belanja agar defisit anggaran tetap terjaga dalam kisaran dua persen terhadap PDB.
"Proyeksi kami, defisit anggaran bisa mendekati 2,5 persen dari PDB tahun ini. Defisit ini sudah memperhitungkan pembatasan pengeluaran melalui pemotongan belanja dan rendahnya penyerapan anggaran, termasuk belanja modal," ujar Ndiame.
Sementara, Ketua Umum Kadin Suryo Bambang Sulisto memahami keinginan pemerintah bahwa peningkatan target penerimaan pajak dibutuhkan untuk penyediaan dana bagi belanja infrastruktur, namun situasinya saat ini kurang pas.
"Kami memahami niat negara untuk meningkatkan pendapatan pajak, hanya saja 'timing'nya kurang tepat, kalau pada saat 'boom time' kita tidak masalah. Tapi sekarang pengusaha sudah babak belur, mau dihantam pajak, ini perlu dipikirkan," ujarnya.
Suryo mengatakan banyak pengusaha pada situasi sekarang sedang mengalami masa-masa sulit karena terkena krisis, sehingga akan lebih baik beberapa aturan pajak yang sedang dilakukan revisi, ditinjau kembali.
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Robert Pakpahan mengatakan pemerintah sudah menyiapkan mitigasi apabila target penerimaan pajak tidak terpenuhi, salah satunya dengan menambah pembiayaan melalui obligasi.
Pembiayaan dari penerbitan obligasi ini dibutuhkan sebagai antisipasi, selain memotong belanja operasional, agar defisit anggaran tidak terlalu melebar dari batas yang ditetapkan dalam UU yaitu 2,5 persen terhadap PDB.
"Kemungkinan ada pemotongan anggaran terutama belanja operasional, bukan belanja infrastruktur. Selain itu, pelebaran defisit masih dimungkinkan hingga 2,5 persen, sehingga kita bisa membiayai program. Sumbernya dari 'bond' atau Silpa di APBN atau memanfaatkan 'standby loan'," kata Robert.