REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Sebagai lembaga keuangan mikro, Baitul Maal wa Tamwil (BMT), kerap mengalami sejumlah kendal internal dan eksternal. Meski begitu, banyak di antara mereka berhasil bertahan.
Ketua Pengurus BMT Mardlotillah Sumedang ASEP Sudrajat
mengungkapkan, mengelola BMT tidak mudah sebab di awal berdirinya manajemen BMT mandiri. Yang sering jadi persoalan, SDI.
Angkatan perintis, BMT sebagai lahan dakwah. Angkatan muda memiliki orientasi lain, bahkan penggelapan pun ada saja.
''Ilmu pengelola BMT akan menentukan keberlangsungannya. Butuh kekuatan ruhiyah, juga rupiah,'' kata Asep dalam seminar nasional peran pembiayaan mikro dalam pemberdayaan umat GSENT, Senin (9/3).
Asep mencatat, pada 2013 ada sekitar 4.500 BMT yang beroperasi di Indonesia dengan aset mencapai Rp 8 triliun. Di Jawa Barat sendiri jumlah BMT yang beroperasi mencapai 291 dengan aset Rp 900 miliar.
Meski dari sisi teknologi BMT sudah cukup kompetitif, modal dan legalitas membuat BMT berbeda dengan bank. Ketidakcocokan pembiayaan dengan dana kadang memicu persoalan likuiditas BMT.
Persoalan legalitas juga membuat BMT harus teliti. BMT koperasi harus dijalankan sebagai koperasi. Sebab jika dilanggar, dendanya Rp 10 miliar, yang bisa jadi lebih besar dari modal BMT sendiri.
Baik bank maupun BMT boleh berbadan hukum koperasi. BMT sendiri saat ini pun banyak yang statusnya koperasi.
Direktur SDI dan Maal BMT Fastabiq Pati Agus Jamaluddin juga mengatakan, BMT banyak bangkrut karena persoalan internal. Karena itu pemilihan SDI yang terlibat penting diperhatikan. Di sisi lain, jumlah SDI berkualitas di tempat berdirinya BMT tidak sebanyak kota besar.
Untuk menguatkan nilai-nilai dan semangat juang, yang kini memiliki aset Rp 210 miliar ini biasa mengadakan Pesantren Karyawan. Selain muatan keislaman, pelatihan ini juga disertai penguatan kedisiplinan, fisik dan mental.
Selain itu, persoalan yang kerap dihadapi BMT juga faktor nasabah. Direktur Pemberdayaan Wakaf Nurul Islam Batam Bimo Tunggal Prasetyo mengungkapkan, kendala bagi BMT di Batam adalah masa menetap orang-orang di Batam yang hanya sekitar 4,8 tahun dari awalnya sekitar enam tahun. Sebagai kota perdagangan, Batam didominasi pendatang.
Ia tidak sepakat jika tidak membayar pembiayaan jadi budaya nasabah BMT. Bimo melihat nasabah-nasabah itu bukannya tidak mau, tapi kadang terkendala satu dua faktor sehingga menunda pembayaran cicilan.
''Mereka lebih mudah didekati secara personal. Mereka tidak ngemplang, tidak juga lari, tapi kesulitan bayar. Potensi pembiayaan bermasalah, masalahnya bukan orang tapi kemampuan menghadapi persoalan,'' tutur Bimo.