REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan bahwa pemerintah memiliki andil dalam masalah kenaikan harga beras yang diduga akibat adanya ulah kartel.
"Pernyataan Menteri Perdagangan terkait dengan adanya kartel beras, lalu agenda penggantian raskin dengan e-money sangat berpengaruh pada tindakan para pelaku usaha," kata Komisioner KPPU Syarkawi Rauf di Jakarta, Ahad (1/3).
Ia menduga jika memang benar ada sejumlah oknum yang bersekongkol dalam memainkan stok dan harga beras, hal tersebut akibat tindakan pemerintah yang dianggap kurang tepat dalam rencana penghapusan raskin. Selain itu, menurut dia, jalur suplai beras yang dimiliki Indonesia juga dinilai sebagai salah satu faktor kenaikan harga beras.
"Jalur suplai kita masih oligopolistis. Pada beberapa rantai distribusi, khususnya di penggilingan beras dan pedagang besar, masih dikuasai oleh segelintir orang," ujar Syarkawi.
Menurut dia, karena kecilnya jumlah pengusahan penggilingan dan pedagang besar, mereka bisa dengan bebas memainkan pasokan dan harga jual beras di pasar.
Akibat lainnya, lanjut dia, ialah Bulog yang berperan sebagai stabilisator harga beras menjadi tidak berjalan. Peran tersebut justru berpindah ke pemilik penggilingan beras dan para pedagang besar.
"Kalau masalah ada kartel atau tidak, hingga saat ini kami belum melihat adanya indikator tersebut," kata Syarkawi.
Sebelumnya, Badan Urusan Logistik (Bulog) menyatakan bahwa kenaikan harga beras lebih diakibatkan kekosongan pasokan yang terjadi dalam tiga bulan terakhir. "Sebenarnya Bulog bertugas mengeluarkan 232.000 ton raskin tiap bulan. Akan tetapi, November dan Desember 2014 stoknya tidak ada, hingga Januari masih seperti itu," kata Direktur Pelayanan Publik Perum Bulog Leli Pritasari Subekti, Sabtu (28/2).
Berdasarkan keterangan yang diberikan, kekosongan tersebut terjadi karena adanya keterlambatan musim tanam dan panen yang mundur sekitar satu hingga 1,5 bulan, atau dengan kata lain dipengaruhi musim paceklik yang lebih lama.