REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Memperhatikan laju perkembangan perbankan syariah yang dinilai lamban, Direktur Keuangan Bank Syariah Mandiri (BSM) Agus Dwi Handaya telah melakukan pengamatan untuk dijadikan bahan pembenahan ke depan. Kepada ROL ia menyebut sejumlah faktor yang menyulut perlambatan.
“Kalau pengamatan saya, penyebabnya bukan satu faktor, kalau ditanya jujur, begini, walaupun namanya bank syariah, tapi realitasnya sistem perbankan syariah belum benar-benar bisa membedakan antara kita dengan yang konvensional,” tuturnya.
Menurutnya, ada tren orang perbankan syariah berusaha menjadikan diri mereka dekat dengan konvensional. Padahal seharusnya syariah tampil beda tanpa memaksakan diri untuk sama seeprti konvensional.
“Sedihnya //tuh// di sini,” kata dia dibarengi tawa. Pada akhirnya, perbankan syariah terjebak dalam kompetisi konvensional.
Misalnya, orang perbankan syariah sadar atau tidak menggiring nasabah untuk mendekatkan diri dengan sistem konvensional, bukannya menanamkan pemahaman soal nisbah atau bagi hasil sebagai ciri khas syariah.
Lagi pula, lanjut dia, syariah tidak bisa disamakan dengan perbankan konvensional. jadi jika ingin dikejar pun, sekarang pososi pendapatan syariah masih sangat jauh yakni Rp 200 Triliun sementara konvensional sudah Rp 2-3 ribu Triliun.
Jika pun ingin mengejar, tidak bisa mengandalkan organik, tapi harus ada dukungan dari pemerintah agar peningkatan gizi “bayi syariah” ini dapat dipercepat. Permodalan yang kuat tersebut nantinya diimbangi dengan likuiditas yang bagus.
Sebagaimana di Malaysia, misalnya, dukungan pemerintah terhadap perbankan syariah dalam APBN-nya sehingga mereka kuat. Selain itu, untuk sumber daya, bank syariah belum menjadi pilihan utama para lulusan perbankan untuk mengembangkan kariernya karena mereka mengincar bank konvensional berskala besar, setelah itu baru ke bank syariah.
Begitu pula para debitur baru, memprioritaskan yang konvensional. Jadi dari lingkungannya pun membuat perbankan syariah belum bisa tumbuh cepat.