REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah kembali mendorong perbankan membantu pencapaian target pajak dengan memberikan akses pada data nasabah. Langkah itu dilakukan untuk mengetahui potensi pajak seseorang yang sebenarnya tidak cukup hanya berdasarkan SPT yang sifatnya self assessment, dan yang bisa diaudit masih di bawah 1 persen.
Deputi Komisioner Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mulya E Siregar mengatakan, jumlah tabungan deposito nasabah di bank wajib dirahasiakan. Menurutnya, akses data perbankan tidak boleh diminta secara langsung kecuali ada masalah seperti pengemplangan pajak.
"Kita mendukung sekali tapi jangan sampai ada pelanggaran kerahasiaan bank. Rahasia bank yang tidak boleh diakses itu DPK," kata Mulya kepada wartawan di Hotel Borobudur Jakarta, Selasa (17/2).
Mulya mengatakan, pemberian data nasabah dapat dilakukan jika yang bersangkutan memiliki kasus-kasus terkait dengan pajak. Namun, jika semua nasabah diminta datanya dan ada nasabah yang tidak terkena kasus pajak, maka hal tersebut harusnya tidak perlu dilakukan.
"Jadi harus ada kasus menyangkut nasabah dulu, baru boleh. Tapi kalau minta data semua nasabah yang tidak ada kasus apa-apa, itukan nanti bisa ketahuan jumlahnya (DPK)," jelasnya.
Menurutnya, kondisi itu menjadi kekhawatiran bagi kalangan perbankan dan nasabah. Sebab, dengan aturan pajak tersebut, perbankan khawatir nasabah akan menarik dananya yang ada di perbankan. Sebab, jumlah dana pihak ketiga (DPK) seperti tabungan, giro, deposito di bank bisa diketahui. Padahal sesuai Undang-Undang, data DPK adalah rahasia dan tidak boleh dibocorkan.
Meski demikian, OJK mendukung upaya pemerintah meraih penerimaan pajak tahun ini sebesar Rp1.489 triliun. Sebab, untuk mencapai target tersebut butuh dukungan agar penghimpunan pajak menjadi optimal.