REPUBLIKA.CO.ID, PARIS - Harga minyak dunia yang rendah biasanya membantu mendorong roda bisnis dan memacu pertumbuhan ekonomi global. Namun, lembaga pemeringkat dunia Moody's belum berencana merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi untuk negara-negara G20. Kelompok G20 meliputi negara-negara industri dan berkembang terkemuka.
"Untuk ekonomi-ekonomi G20, kami perkirakan pertumbuhan PDB masing-masing hanya di bawah 3,0 persen pada 2015 dan 2016, tidak berubah dari 2014 dan dari Prospek Makro Global (Global Macro Outlook) kami pada November 2014," Marie Diron, wakil presiden senior Moody's untuk kebijakan kredit, Rabu (11/2).
Dia mengatakan Amerika Serikat dan India adalah salah satu penerima keuntungan terbesar (di antara negara G20) dari minyak yang lebih murah. Pasalnya, para konsumen dan perusahaan-perusahaan menghabiskan sebagian dari keuntungan mereka dalam pendapatan riil.
Lembaga yang berbasis di AS itu memperkirakan pertumbuhan ekonoi AS sebesar 3,2 persen pada 2015 dan 2,8 persen pada 2016. Sementara itu, Moody's memperkirakan ekonomi India tumbuh hampir 7 persen pada 2016.
Adapun negara-negara G20 penghasil minyak, kemerosotan harga akan memukul keras Rusia, dan semakin memperbuurk kondisi disana ditambah faktor konflik geopolitik dengan Ukraina. Diron memprediksi "resesi tajam" akan berlangsung sampai 2017.
"Di Arab Saudi, belanja fiskal yang lebih tinggi akan mengurangi dampak negatif harga minyak yang lebih rendah dan membantu mempertahankan pertumbuhan yang positif," kata dia.
Di kawasan Eropa, Jepang dan Brazil, dan beberapa importir minyak bersih lainnya yang tergabung dalam negara G20, penurunan harga minyak terjadi dalam lingkungan ekonomi yang tidak menguntungkan. Dia merujuk ke angka pengangguran yang tinggi dan ketidakpastian politik baru di beberapa negara-negara zona Euro, serta kebijakan moneter dan fiskal yang ketat Brazil.
"Dalam konteks ini, sebagian besar dari keuntungan pendapatan dari harga minyak yang lebih rendah kemungkinan lebih banyak ditabung daripada dibelanjakan," ujar Diron.
Perkiraan ini didasarkan pada asumsi bahwa harga minyak akan tetap pada rata-rata 55 dolar AS per barel untuk Brent pada 2015. Moody's menyimpulkan dampak dari pelemahan harga minyak ini akan sedikit lebih buruk dibandingkan perkiraan semula lantaran masih ada dampak krisis ekonomi global 2008 dan masih melemahnya investasi.