REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pemerintah telah menetapkan target kenaikan penerimaan pajak, bea, dan cukai sebesar 40,3 persen. Kenaikan tersebut meresahkan para pengusaha dan akan berdampak sangat signifikan terhadap dunia usaha.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani mengatakan, target kenaikan pajak ini dinilai kurang pas dan kontradiktif terhadap keadaan perekonomian di Tanah Air dan global. Menurutnya, saat ini pertumbuhan ekonomi nasional mengalami stagnasi dan ada keterlambatan yang serius di sektor riil."Justru kenaikan pajak ini akan mengakibatkan distorsi terhadap ekonomi negara kita," ujar Hariyadi di Jakarta, Kamis (5/2).
Selain itu, kenaikan target pajak akan berpengaruh terhadap daya beli masyarakat dan perbankan. Menurut Hariyadi, pemerintah tidak perlu menaikkan target penerimaan pajak secara fantastis, karena sudah memiliki ruang fiskal yang besar.
Pencabutan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) membuat pemerintah memiliki tabungan yang cukup untuk menggerakkan infrastruktur, sehingga tidak perlu melakukan kenaikan target penerimaan pajak yang tinggi dan memberatkan dunia usaha. "Sebaiknya justru pemerintah memberikan stimulus fiskal kepada pengusaha," ujar Hariyadi.
Apindo mengusulkan agar pemerintah melakukan kenaikan penerimaan pajak secara berjenjang. Menurut Hariyadi, idealnya kenaikan berada di batas sekitar 15 persen sehingga tidak menimbulkan kepanikan pada pelaksana pajak dan kegelisahan bagi pelaku usaha.
Sementara itu, Ketua Komite Tetap Kebijakan Bidang Properti dan Kawasan Industri Kadin Indonesia, Teguh Satria mengatakan, kebijakan pemerintah untuk menaikkan penerimaan pajak dapat mematikan sektor properti. Apalagi pemerintah berencana menurunkan batasan kategori barang sangat mewah dari Rp. 10 miliar menjadi Rp. 2 miliar. Selain itu, pemerintah juga akan mengenakan pajak barang mewah (PPn-BM) sebesar 20 persen.
"Apabila pajak barang sangat mewah diturunkan maka threshold-nya juga turun dan akan terjadi kontra produktif," ujar Teguh.
Teguh menyatakan, kebijakan tersebut dinilai tidak realistis dan akan membuat bisnis properti menjadi lesu dan dapat berakibat berkurangnya penyerapan tenaga kerja. Menurut Teguh, seharusnya pemerintah perlu membuat terobosan baru dengan mengeluarkan peraturan yang mengakomodasi Real Estate Investment Trust (REIT).
Pengenaan tarif PPn-BM juga harus dilakukan secara berjenjang mulai dari 5 persen. Selain itu, perlu ada ekstensifikasi wajib pajak yang belum terdaftar, terutama bagi pengembang pribadi.