REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk atau BNI menanggapi santai wacana merger BNI dan Bank Mandiri yang diwacanakan pemerintah. Direktur Tresuri dan International Finance (IF) BNI Suwoko Singoastro memandang urusan merger merupakan domain pemegang saham.
Menurutnya, tidak perlu grusak-grusuk atau terburu-buru membahas merger padahal banyak urusan lain yang lebih penting. Menurutnya, merger memerlukan waktu peralihan yang tidak sebentar.
Butuh waktu dua hingga tiga tahun baru bisa berjalan. Dalam masa peralihan itu, kinerja bank tidak akan maksimal. Padahal di sisi lain, pemerintah memiliki kepentingan untuk menggenjot pembangunan.
“Kalau kita butuh waktu sekian lama tapi kita mau genjot pembangunan terus untuk untuk apa (merger),” ujar Suwoko,Rabu (4/2).
Menurut dia, menjadi besar bukan satu-satunya tujuan dari binsis. Menurut dia, untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tidak cukup hanya menjadi besar sehingga bisa ekspansi ke luar negeri.
Saat MEA nanti, menurutnya pasar Indonesia justru yang paling besar karena Indonesia memiliki 250 juta penduduk. Dia mengatakan ‘pertarungan’ sebenarnya justru terjadi di Indonesia karena ceruk pasarnya paling besar se-ASEAN.
Dia mengatakan pasar di Indonesia lebih menguntungkan dibandingkan di luar negeri. Itulah yang menyebabkan banyak bank asing tertarik untuk masuk ke Indonesia.
Untuk mengahadapi itu, BNI lebih tertarik agar pemerintah mengurangi deviden yang harus diserahkan sehingga bisa ditahan untuk tambahan modal.
“Kalau bank Jepang kesini, mereka diwajibkan beli SUN (Surat Utang Negara) bunganya 7 persen, jadi disitu justru yang harus diperkuat di dalam negeri,” ujar dia.
Menurut dia, dengan jumlah pasar yang begitu besar, masyarakat Indonesia tidak cukup hanya dilayani oleh satu atau dua bank besar saja. Menurut dia, prioritas pemerintah semestinya untuk bisa membesarkan bank-bank BUMN yang ada agar semakin bisa bersaing di dalam negeri.