Sabtu 31 Jan 2015 08:01 WIB

Menkeu: Pembenahan Fundamental Ekonomi Modal Jelang MEA

Masyarakat Ekonomi ASEAN
Foto: blogspot.com
Masyarakat Ekonomi ASEAN

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan pembenahan fundamental ekonomi bisa menjadi salah satu modal Indonesia menjelang implementasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada 2016.

"Kita mencari sisi positif dari perjanjian ini, dan itu hanya bisa terwujud bila kita menjaga fundamental ekonomi Indonesia," kata Bambang ketika menyampaikan pandangannya dalam seminar Masyarakat Ekonomi Asean di Jakarta, Jumat malam.

Bambang mengatakan tantangan fundamental ekonomi yang dihadapi Indonesia saat ini adalah neraca transaksi berjalan yang masih mengalami defisit dibandingkan negara tetangga seperti Singapura, Thailand, Malaysia maupun Filipina yang tercatat surplus.

"Negara lain tercatat surplus karena memiliki kemampuan untuk ekspor tinggi, kecuali Filipina, yang terbantu oleh repatriasi pendapatan tenaga kerja mereka yang bekerja di luar negeri, jadi 'inflow' dari luar Filipina, besar," katanya.

Bambang melanjutkan, selain wajib membenahi neraca transaksi berjalan, Indonesia juga harus mengatasi masalah laju inflasi tinggi yang terjadi dalam dua tahun terakhir, karena adanya masalah pemanfaatan belanja subsidi untuk BBM.

"Inflasi kita memang ketinggalan dibandingkan negara lain. Filipina yang mirip kita, selalu rendah inflasinya karena tidak pernah ada isu harga BBM, jadi kalaupun harganya turun naik dan menjadi mahal, masyarakat sudah terbiasa," katanya.

Bambang bahkan memperkirakan negara yang menjadi saingan Indonesia dalam MEA bukan Thailand atau Malaysia, tapi Filipina yang memiliki pertumbuhan ekonomi bagus serta penduduknya mempunyai kemampuan bahasa Inggris yang memadai.

"Dari segi pertumbuhan, bahkan kita hanya kalah dari Filipina. Kuncinya adalah kita harus menjaga kondisi ekonomi serta meningkatkan daya saing dalam menghadapi tekanan di tingkat regional," ujarnya.

Terkait penggunaan mata uang tunggal di kawasan Asean, Bambang mengatakan sangat sulit bagi kawasan di Asia Tenggara untuk memakai satu mata uang sendiri seperti Uni Eropa, karena risiko yang dihadapi besar.

"Dalam perjanjian ini tidak pernah ada pemikiran penggunaan satu mata uang. Selain itu, ada contoh ketika Belanda masuk zona eropa, gulden menjadi euro, barang-barang (yang dibeli konsumen) ternyata menjadi lebih mahal. Kita tidak menuju kesana," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement