REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertumbuhan ekonomi Indonesia sampai akhir 2015 diprediksi berada di level 5,1-5,2 persen. Diperkirkan, imbal hasil (yield) penerbitan surat berharga negara (SBN) turun di kisaran 7,2-7,1 persen.
Managing Director and Senior Country Office JP Morgan Indonesia, Haryanto T Budiman, mengatakan pada Desember 2014 posisi yield masih 8,5 persen. Menyusul kebijakan pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM), penerbitan SBN pemerintah senilai Rp 12 triliun dan ditambah menjadi Rp 17,3 triliun akan berdampak bagi fiskal.
"Ini not bad, semakin rendah yield akan baik bagi fiskal karena obyek pembayaran utang berkurang. Ini memberikan tambahan portofolio inflow masuk ke negara kita. Pertumbuhan ekonomi kita di 2015 mirip-mirip 2014, antara 5,1-5,2 persen," kata Haryanto dalam Indonesia Economic and Market Outlook 2015 di Hotel Darmawangsa, Jakarta, Kamis (29/1).
Menurutnya, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan investasi langsung atau Foreign Direct Investment (FDI), bukan investasi portofolio.
Investasi langsung bisa mendorong pergerakan ekonomi dan perluasan lapangan kerja yang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Haryanto mengatakan, Indonesia menghadapi beberapa tantangan dalam mengejar pertumbuhan ekonomi pada 2015. Pertama, kemungkinan dampak negatif dari kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan naik pada Juni 2015.
Kenaikan Fed fund rate diprediksi tidak signifikan, sekitar 25 basis poin. Namun, pada Mei-Juni demand dolar akan cukup tinggi menyusul repatriasi kupon payment.
"Maksimal akhir 2015 suku bunga The Fed mencapai 1 persen dari 0,25 persen saat ini. Tapi Juni adalah saat yang lumayan kritis karena ada kenaikan suku bunga The Fed tapi demand domestik terhadap dolar akan tinggi," ujarnya.
Kedua, tantangan harga komoditas global yang semakin turun. Padahal komposisi ekspor komoditas masih 60-62 persen dari total ekspor. Turunnya harga komoditas akan berdampak pada penerimaan negara yang cukup signifikan.
Ketiga, potensi membesarnya defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Menurutnya, CAD tetap diperlukan negara berkembang, tapi tidak boleh terlalu besar.
Keempat, likuiditas perbankan yang dinilai sudah lebih baik, namun belum terdistribusi dengan baik. Saat ini, Loan to Deposi Ratio (LDR) sudah di bawah 90 persen. Pengalihan subsidi BBM ke infrastruktur dinilai akan membuat likuiditas perbankan lebih longgar.
"Tapi poinnya adalah ini mungkin tidak secara seragam terdistribusi seluruh perbankan nasional, jumlahnya kan 120 bank. Untuk bank-bank besar mungkin likuiditas baik sekali, tapi bank menengah dan kecil mereka masih harus membayar suku bunga yang besar untuk menarik likuiditas," jelasnya.