Selasa 27 Jan 2015 23:59 WIB

Penambahan Objek Pajak Barang Mewah Dinilai Mengada-ada

Rep: Satria Kartika Yudha/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Bermacam batu akik dengan cincin perak di ITC Kebonkalapa, Kota Bandung, Ahad (14/9). (Republika/Edi Yusuf)
Bermacam batu akik dengan cincin perak di ITC Kebonkalapa, Kota Bandung, Ahad (14/9). (Republika/Edi Yusuf)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro memastikan akan memperluas objek pajak penjualan barang mewah (PPnBM). Rencana ini menuai kritik dari sejumlah pengamat.

"Kebijakan ini mengada-ngada," kata pengamat perpajakan dari Universitas Pelita Harapan, Rony Bako, Selasa (27/1).

Rony menyarankan  pemerintah seharusnya  mengutamakan penggalian potensi pajak-pajak besar,  menyelesaikan kasus-kasus pajak, transfer pricing, dan carut marut restitusi pajak. Bukan dengan memperluas objek PPnBM yang salah satunya batu akik di atas harga Rp 1 juta.

"Lucu kalau batu akik Rp 1 juta dikategorikan sebagai barang mewah. Penerimaan yang didapat tidak sebanding dengan upayanya," ketus dia.

Hal senada dilontarkan ahli perpajakan Universitas Indonesia, Gunadi. Dia meragukan kemampuan Direktorat Jenderal Pajak untuk melakukan pengawasan karena objek PPnBM diperluas.

"Tambahan dari perluasan ini tak signifikan. Selain itu, masalahnya apakah Ditjen Pajak mampu mengawasi seperti penjualan batu akik," ujar dia.

Dia menyarankan pemerintah lebih baik menggenjot pajak penghasilan pribadi non karyawan. Pasalnya, potensi yang bisa digali dari pajak penghasilan para pengusaha sangat besar.

Menurut catatan dia, total pajak penghasilan dari WP non karyawan dalam hal ini pengusaha rata-rata hanya Rp 5 triliun. Sementara karyawan menghasilkan Rp 94 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement