Senin 26 Jan 2015 13:03 WIB

Soal Freeport, Pemerintah Dinilai Arogan

Rep: Agus Raharjo/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.
Foto: Reuters/Stringer
Aktivitas penambangan di areal pertambangan Grasberg PT Freeport, Mimika, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pemerintah akhirnya memerpanjang Memorandum of Understanding (MOU) soal amandemen karya dengan PT Freeport selama 6 bulan kedepan. Padahal, MOU dengan Freeport seharusnya berakhir 25 Januari 2015 kemarin. Selain itu, PT Freeport juga tidak segera membangun smelter seperti yang ada dalam poin MOU sebelumnya.

Anggota DPD dari Provinsi Papua, Carles Simaremare mengatakan pemerintah pusat tidak tegas jika berurusan dengan Freeport. Masyarakat Papua sangat menyayangkan adanya perpanjangan MOU dengan Papua yang tidak membahas dengan masyarakat lokal.

"Kami sangat menyayangkan perpanjangan MOU itu, bukti arogansi pemerintah pusat pada masyarakat Papua," kata Carles pada Republika, Senin (26/1).

Carles menambahkan, selama ini, masyarakat lokal tidak dilibatkan dalam pembahasan perjanjian dengan Freeport. Padahal, Pemerintah daerah sudah menunjukkan komitmennya untuk mendukung pemerintah pusat jika Freeport memenuhi hak masyarakat Papua, seperti membangun smelter di Papua.

"Pemerintah pusat terbukti tidak berpihak pada daerah karena masyarakat hanya dilibatkan untuk menonton," imbuh dia.

Carles menegaskan pemerintah pusat hanya mendengar masukan dari Freeport tanpa memertimbangkan masukan dari masyarakat lokal. Padahal, bagi rakyat Papua, Feeeport hanyalah perusahaan yang mementingkan keuntungan semata tanpa peduli dengan keadaan masyarakat Papua.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement