REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA – Hingga 2015, industri substitusi impor sector petrokimia membutuhkan total investasi senilai 18 miliar dolar AS. Investasi tersebut dibutuhkan untuk membangun industri petrokimia nasional yang terintegrasi dari hulu ke hilir melalui peningkatan kapasitas kilang minyak (refinery), olefin dan aromatik.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani, mengatakan berdasarkan data Kemenperin, pada 2015, Indonesia ditargetkan memiliki tiga kilang minyak baru. Kilang minyak tersebut masing-masing berkapasitas 300 ribu barel per hari yang terintegrasi dengan new olefin centre berkapasitas 1 juta ton per tahun dan new aromatic centre berkapasitas 500 ribu ton per tahun.
“Penghambat pembangunan kilang minyak untuk industri petrokimia adalah keterbatasan lahan dan infrastruktur, untuk itu diperlukan bantuan pemerintah daerah dalam penyediaan lahan,” kata Franky kepada wartawan di kantor BKPM, Jakarta, Selasa (13/1).
Franky menjelaskan beberapa hambatan yang dihadapi industri petrokimia di Indonesia, yakni bahan baku yang masih harus diimpor dengan harga tinggi. Belum adanya integrasi menyeluruh antara industri hulu, hilir dan produk jadi.
Selain minimnya SDM yang terampil, biaya utilitas yang tinggi mencakup listrik, air dan gas, serta tidak memadainya infrastruktur. Akibatnya, investor harus membangun sendiri jaringan pipa, pelabuhan, jalan, dan lainnya.
Selain itu, biaya investasi kilang sangat tinggi sehingga memerlukan skema pendanaan yang menarik. Terlebih, sektor petrokimia bakal menjadi prioritas investasi industri substitusi impor pada tahun ini.
“Untuk menarik minat investasi pembangunan kilang diperlukan insentif pengurangan pajak seperti tax holiday, tax allowance dan pembebasan bea masuk barang modal,” imbuhnya.