REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Perekonomian dan sistem keuangan dihadapkan oleh empat risiko utama. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Halim Alamsyah mengatakan empat risiko tersebut antara lain normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat (AS), dan potensi risiko likuiditas yang masih tinggi.
Selain itu, Indonesia diharapkan pada risiko berlanjutnya penurunan harga-harga komoditas. Indonesia juga diharapkan pada meningkatnya kerawanan eksternal akibat kembali naiknya rasio utang luar negeri.
Melihat tantangan tersebut, BI menyusun stress scenario baik dari sisi suku bunga, nilai tukar dan variabel makro lainnya. Dari hasil stress test BI, sistem keuangan Indonesia memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi risiko kredit dan risiko pasar (suku bunga, nilai tukar dan harga SBN).
“Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia tetap terjaga, baik dari dilihat dari sisi perbankan, korporasi maupun rumah tangga”, ujar Halim, (9/1) lalu.
Exchange rate stress-test ditujukan untuk memperkirakan dampak perubahan nilai tukar terhadap modal bank dan kinerja korporasi. Interest rate stress-test mengestimasi dampak perubahan suku bunga terhadap perbankan, khususnya saat Fed melakukan normalisasi kebijakannya.
Menurut Halim, BI kini makin memperkuat credit risk stress test dengan mempertimbangkan pemburukan kinerja korporasi berbasis komoditas menyusul tren perlambatan harga komoditas global.
Sementara itu, liquidity stress-test digunakan untuk menghitung kemampuan alat likuid bank atau korporasi dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Terutama jika ada kebutuhan likuiditas dalam jumlah besar dari korporasi yang memiliki eksposur komoditas yang besar. Hal tersebut juga dilengkapi dengan interbank stress-test untuk mengetahui potensi kegagalan bank dalam memenuhi kewajiban antar bank.