Sabtu 27 Dec 2014 13:30 WIB

Sebut Harga Premium tak Jelas, Ini Penjelasan Faisal Basri

Rep: c82/ Red: Mansyur Faqih
Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).
Foto: Republika/Yasin Habibi
Tahun 2015 Premium Tidak Bersubsidi: Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di SPBU, Jakarta, Jumat (19/12).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri mengatakan, proses pembentukan harga Ron 88 (Premium) tidak jelas. Karenanya, lebih baik jika Ron 88 segera dihapus.

"Karena proses pembentukan harga tidak jelas, tidak dilandasi dinamika pasar yang betul-betul terjadi," kata Faisal di Jakarta, Sabtu (27/12).

Faisal mengatakan, tidak ada lagi negara di Asia Tenggara yang memroduksi Ron 88. Sehingga harga dibuat dengan rumus yang aneh.

"Ron 88 adalah campuran dari 87 persen Ron yang lebih tinggi, Ron 92, dicampur dengan Nafta 13 persen. Dikalikan dengan ongkos blending. Jadi rumus itu sudah kacau balau," jelasnya.

Hal itu, ujarnya, yang kemudian menyebabkan harga Ron 88 seolah berada di ruang gelap. Mafia-mafia pun bermunculan. "Karena penentuan harga tidak lewat pasar," ujarnya.

Selain itu, kata dia, harga minyak mentah yang sedang turun juga harus dijadikan momentum untuk mulai meninggalkan Ron 88.

"Ini momen bagus menghilangkan premium, dan rakyat, dengan harga sama bisa memperoleh yang lebih baik, memperoleh pertamax. Rakyat lebih untung," kata Faisal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement