REPUBLIKA.CO.ID, JAKARA -- Kepala Komite Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri mengatakan impor bahan bakar minyak RON88 yang dilakukan Indonesia bisa membuka peluang kartel karena negara ini adalah satu-satunya pembeli BBM jenis tersebut di dunia.
"Ini membuka peluang terjadi kartel penjual karena mereka punya kepentingan menghasilkan RON88 hanya untuk Indonesia," kata Faisal dalam jumpa pers di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, Indonesia adalah satu-satunya pembeli terbesar RON88 di dunia.
Namun, tidak punya kuasa apa pun atas penetapan harga transaksi minyak bursa Singapura (MOPS) untuk Mogas92, acuan harga bensin RON88.
"Petral, yang memasok bensin RON88 ke Indonesia hanya jadi 'price taker' dalam impor bensin RON88 sehingga memungkinkan terjadinya kartel," ujarnya.
Belum lagi, berdasarkan kajian komite, harga indeks pasar (HIP) yang digunakan dalam menghitung harga patokan didasarkan pada acuan yang bias.
Sementara faktor pengali untuk mendapatkan HIP bensin premium dihitung berdasarkan penetapan pada 2007 yang tidak menggambarkan kondisi saat ini.
"Ini menggambarkan variabel di sini tidak riil karena bukan berdasarkan pembentukan harga di pasar. Semua berdasarkan asumsi yang sudah kadaluarsa," katanya.
Faisal menuturkan, dengan rekomendasi pihaknya untuk menghentikan impor RON88 dan secara berkala menggantinya dengan RON92, akan tercipta sistem patokan harga yang transparan, sesuai mekanisme pasar dan akuntabel.
BBM RON92 akan lebih murah didapatkan di pasaran dunia, yang tidak lagi menjual RON88, sehingga Indonesia bisa memilih harga yang lebih kompetitif dalam impor minyak bumi.
"Di dunia, bahkan di Asia Tenggara saja, hanya Indonesia yang masih pakai RON88. Meski yang kita impor sekarang adalah RON88, tidak menutup kemungkinan yang dikirim adalah RON92 yang harganya lebih murah. Tapi dijual ke kita lebih mahal," katanya.
Sebelumnya, Komite Reformasi Tata Kelola Migas merekomendasikan penghentian impor RON88 (bahan bakar jenis premium) dan "gasoil" berkadar 0,35 persen sulfur (solar) dan secara berkala menggantinya dengan impor RON92 (dikenal sebagai Pertamax) dan "gasoil" 0,25 persen sulfur.
Meski merekomendasikan penghentian impor RON88 dan menggantinya dengan RON92, komite tetap meminta adanya sistem subsidi dengan pola tetap atau "fixed".
Hal itu dilakukan sebagai usulan atas spekulasi adanya "ruang gelap" dalam mekanisme pengadaan BBM akibat kontroversi mengenai informasi yang tidak lengkap mengenai bagaimana pemerintah menentukan harga patokan jenis-jenis BBM tertentu.