Senin 15 Dec 2014 19:18 WIB

Bahas Mafia Migas, Aspermigas Undang Faisal Basri

Faisal Basri
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Faisal Basri

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) mengundang Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri, untuk duduk bersama membahas permasalahan mafia migas dan solusi tuntas terkait permasalahan darurat energi.

”Pak Faisal dan timnya sudah setuju hadir dalam dialog nasional masyarakat migas yang akan digelar 19 Januari 2015 di Jakarta,” kata Ketua Umum Aspermigas, Effendi Siradjuddin, di kantor Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM), Jakarta, dalam siaran persnya, Senin (15/12).

Lebih dari 150 peserta siap bergabung dalam dialog yang mengusung tema ”Indonesia Darurat Energi: Strategi Mewujudkan Kemandirian Sektor Migas” ini. Selain para pelaku industri di hulu dan hilir migas, akan hadir sejumlah pimpinan perusahaan jasa penunjang migas, industri perbankan, akademisi dan mahasiswa. ”Dari dialog tersebut, diharapkan lahir kesamaan pandangan antara Pemerintah dengan pelaku usaha sektor migas terkait strategi yang komprehensif untuk mereformasi pengelolaan migas, sekaligus menghadapi kondisi darurat energi,” ujar Effendi.

Dalam pertemuan dengan TRTKM, lanjut Effendi, Aspermigas antara lain memaparkan fakta-fakta seputar kondisi darurat energi, yang terutama dipicu oleh semakin tingginya ketergantungan Indonesia terhadap impor minyak bumi. Seperti dilansir Kementerian ESDM per November 2014, Indonesia mengimpor bahan bakar minyak (BBM) sebanyak 850 ribu barel per hari (bph) atau kurang lebih Rp 1,7 triliun per hari dari total konsumsi BBM nasional sekitar 1,5 juta barel per hari (bph). ”Kalau tidak segera diantisipasi dengan strategi yang tepat, dalam beberapa dekade ke depan Indonesia harus bersiap menghadapi skenario terburuk: era tanpa minyak,” tegasnya.

Sebagai gambaran, produksi puncak minyak dunia saat ini berada di kisaran 90 juta bph. Dari jumlah itu, sekitar separo (45 juta bph) dikonsumsi sendiri oleh negara-negara produsen. ”Artinya, hanya sekitar 45 juta bph yang diperdagangkan di pasar dunia untuk diimpor oleh sejumlah negara,” ujar Effendi. Dengan perkiraan impor minyak sebesar 900 ribu - 1 juta bph pada 2015, Indonesia akan berada pada urutan ke-14 dunia sebagai negara pengimpor minyak.

Kondisi di atas sangat kritikal, bahkan bisa dikualifikasi sebagai ”membahayakan keamanan dan kesatuan nasional”. Pasalnya, tanpa mengimpor, ketersediaan pasokan BBM Indonesia praktis hanya untuk bertahan 2-3 minggu. ”Hal itu tidak terlepas dari fakta, kemampuan produksi minyak Indonesia saat ini hanya di kisaran 800 ribu bph, yang notabene setengahnya adalah milik perusahaan asing,” jelas Effendi.

Faisal Basri sependapat, problem riil bangsa terkait sektor migas dan energi, di antaranya menyangkut ketergantungan terhadap impor minyak. "Tetapi, kita harus memastikan, apa sebenarnya penyebab terjadinya kondisi darurat. Jangan-jangan, penyebabnya lebih kepada manajemen pengelolaan migas. Sebab, banyak negara di dunia yang sama-sama bergantung pada impor minyak, tetapi tidak tampak kecemasan terhadap kondisi darurat," kata Faisal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement