REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Menanggapi rencana pemerintah yang ingin memasukkan sistem elektronik money dalam penyaluran beras miskin (raskin), Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Perum Bulog) mengaku akan menjalankan apapun yang ditugaskan pemerintah.
Namun jika dilihat dari konteks kebijakan, Kepala Divisi Penyaluran Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) Lely Pelitasari Soebekty menerangkan, kebijakan raskin melibatkan sekitar 10 lembaga atau kementerian yang berposisi menjadi stakeholder. Sehingga, jika kebijakan raskin mengalami perubahan, yang harus dipikirkan adalah implikasinya terhadap kebijakan yang lain.
“Bagi bulog, kerugian secara korporasi ada, karena beras yang ada sekarang tidak akan tersalur, sementara kita membeli beras petani dengan kredit komersial, bukan dengan subsidi pemerintah,” katanya kepada //Republika// pada Senin (15/12) ditemui seusai acara diskusi publik yang diselenggarakan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi) bertajuk “Stop Liberalisasi Beras”.
Pemerintah, lanjut dia, hanya membayar subsidi untuk raskin yang telah disalurkan ke masyarakat. makanya, jika kebijakan diubah, konsekuensinya pemerintah tidak lagi memberikan kewajiban kepada Bulog untuk menyerap sebanyak-banyaknya beras petani.
Diterangkannya, keberadaan raskin otomatis membutuhkan outlet yang inlet-nya adalah beras petani. Jika e-money diterapkan, maka hanya ada inlet saja tanpa outlet. “Nanti kejadiannya bisa-bisa seperti di Thailand, beras oversupply karena tidak bisa tersalur.” tuturnya.
Berkaca dari pengalaman, ketika terjadi pembelian beras petani sebanyak-banyaknya tanpa outlet, akan terjadi kesulitan distribusi, bukan hanya dari sisi pemerintah, tapi juga kepada petani. Maka ia berharap pemerintah bukan sekadar menggulirkan liberalisasi, tapi juga memperhatikan perlindungan kepada masyarakat dan petani.