REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri BUMN Rini M Soemarno meminta seluruh perusahaan milik negara membatasi porsi pinjaman dalam bentuk mata uang dolar AS untuk menghindari perusahaan dari potensi rugi kurs.
"Jika BUMN mau merealisasikan pinjaman dalam dolar AS sebaiknya 10 persen-20 persen saja, jangan lebih dari itu untuk meminimalkan risiko rugi kurs," kata Rini, di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Senin (1/12).
Menurutnya, dalam menetapkan pinjaman dolar AS, perusahaan juga harus mempertimbangkan pendapatan apakah lebih banyak dalam rupiah atau dolar.
Rini yang sebelumnya pernah menjabat Menperindag ini mengatakan, salah satu yang menjadi perhatiannya ketika dipercaya menjabat Menteri BUMN Kabinet Kerja adalah banyaknya BUMN yang merugi karena fluktuasi kurs.
"Ini menjadi risiko manajemen yang kurang "prudent" (kurang hati-hati). Banyak perusahaan rugi melakukan pinjaman dalam dolar, yang sama sekali mereka tidak memperhatikan sebetulnya pendapatan mereka dalam rupiah," ujarnya.
Ia mengakui, BUMN memilih pinjaman dolar AS karena bunga memang lebih murah dibanding bunga bank lokal. Namun risikonya sangat tinggi jika terjadi depresiasi rupiah.
Rini menyebutkan BUMN yang menderita rugi tersebut antara lain PT Garuda Indonesia Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, PT Krakatau Steel Tbk.
"Garuda sendiri utangnya hampir 90 persen dalam dolar, padahal pendapatannya dari dolar hanya 30-45 persen. Jadi risiko sangat tinggi jika Garuda pinjam dalam dolar di atas 80 persen," tegasnya.
Pada dasarnya, ujar Rini, kerugian yang diderita maskapai penerbangan "pelat merah" selain karena operasional yang menurun, juga dipicu rugi kurs.
Untuk itu, tambahnya, Kementerian BUMN selaku kuasa pemegang saham perusahaan milik negara sedang menganalisa masalah rugi kurs tersebut dan memperhitungkan porsi rupiah dan dolar.