Ahad 16 Nov 2014 13:17 WIB

Pemerintah Diminta Percepat Pengembangan Industri Garam NTT

Rep: C85/ Red: Indira Rezkisari
Petani garam. Ilustrasi
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Petani garam. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG - Presiden Direktur PT. Cheetham Salt, Arthur Tanudjaja, meminta pemerintah mempercepat persoalan agraria yang menghambat upaya pengembangan industri garam di NTT. Harapannya, pemerintah bisa mempercepat izin investasi garam di NTT.

Industri garam di NTT diperkirakan mampu menyerap ratusan tenaga kerja baru. Untuk proyek di Kabupaten Nagekeo, industri garam diproyeksikan mampu menampung 600 tenaga kerja dengan 150 di antaranya adalah petani garam. "Sisanya nanti berperan dalam hal teknis pengolahan," ujar Arthur, Sabtu (15/11).

Untuk merealisasikan rencana investasi yang terhenti sejak sekitar 3 tahun lalu ini, Arthur menyatakan akan segera menandatangani nota kesepahaman antara PT. Cheetham Salt dengan Bupati Nagekeo Elias Djo. Elias Djo sendiri dalam diskusi bersama Menteri Perindustrian Saleh Husin, sempat mengungkapkan dukungannya terhadap proyek yang mampu menyerap tenaga putra daerah ini.

Pasalnya, di kawasan yang nantinya akan dibangun sentra industri garam di Nagekeo, hanya ada 300 kepala keluarga. Sehingga hampir dipastikan industri garam di sana nantinya juga akan mengambil tenaga kerja dari wilayah lain. "Permasalahan pembebasan lahan, mohon Pak Menteri ikut membantu," ujar Elias Djo.

Pabrik garam yang ini nantinya akan memproduksi 250 hingga 300 ribu ton garam per tahunnya. Dengan jumlah sebanyak itu, setidaknya bisa menutup 10-20 persen kuota impor garam nasional yang tadinya sebanyak 1,6 hingga 2 juta ton pertahunnya. "Banyak infrastruktur mesti dibangun. Juga pekerjaan sipil, listrik, sekarang belum terpenuhi. Dukungan pemerintahan baru ini untuk penyelesaian lahan dulu," jelasnya Arthur.

Mendengar keluhan pengusaha garam tersebut, Menteri Saleh langsung menghubungi Menteri Agraria dan Tata Ruang Ferry Mursyidan Baldam terkait masalah pembebasan lahan. Saleh menelpon Ferry di hadapan para bupati dan pengusaha di sela dialog. Namun saat ditelpon, telepon seluler milik Ferry tidak bisa dihubungi.

Meski demikian, Saleh berjanji akan membantu menyelesaikan persoalan lahan yang dikeluhkan pengusaha garam di NTT. "Nanti kita upayakan untuk cari penyelesaiannya bagaimana," janji Saleh kepada pengusaha.

Nusa Tenggara Timur sendiri dinilai memiliki potensi yang sangat besar untuk pengembangan industri garam nasional. Terlebih di Pulau Timor yang memiliki curah hujan yang rendah dengan tingkat evaporasi yang cukup tinggi, sangat potensial untuk industri garam.

Sebelumnya, sejak 2011 industri garam di Nagegeo terhambat lantaran pembebasan lahan yang sulit. Kabupaten Nagegeo, NTT dianggap layak untuk industri garam karena memiliki curah hujan rendah dan tingkat evaporasi yang tinggi. Dalam industri sendiri,  justru yang dibutuhkan adalah iklim yang kering, berlawanan dengan pertanian. "Latar belakang MoU ini tentu dari program swasembada kebutuhan garam nasional kita sebesar 3,5 juta ton," jelas Arthur. Saat ini, lanjut Arthur, produksi garam nasional sebesar 1,5 juta ton, dengan nilai impor sebesar 1,6 juta ton untuk garam industri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement