Ahad 16 Nov 2014 13:12 WIB

Industri Garam NTT Diproyeksikan Tutup 10 Persen Kuota Impor Garam Nasional

Rep: C85/ Red: Indira Rezkisari
Petani garam. Ilustrasi
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Petani garam. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG - Meskipun Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di Dunia, Indonesia masih harus melakukan impor garam untuk penuhi kebutuhan garam nasional. Kementerian Perindustrian mencatat,  kebutuhan garam nasional saat ini adalah 3,5 juta ton per tahun.

Dari angka sebesar itu, industri garam nasional hanya sanggup memasok 1,5 juta ton garam pertahun, atau kurang dari separuh kebutuhan garam nasional. Untuk itu, setiap tahunnya Indonesia mengimpor garam industri sebesar 1,6 hingga 2 juta ton garam setiap tahunnya. "Tapi yang impor hanya garam industri," jelas Sekretaris Dirjen Industri Kecil dan Menengah Busharmaidi kepada Republika, Sabtu (15/11).

Mengatasi hal ini, Kementerian Perindustrian berniat menggenjot produksi garam nasional dengan membangun sentra industri garam di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Di sela kunjungan kerjanya ke Kupang, Menteri Perindustrian Saleh Husin sempat menandatangani nota kesepahaman MoU dengan PT. Cheetham Salt selaku investor yang akan menamakan misalnya di Nagekeo.

Penandatanganan kerjasama ini sebagai langkah awal untuk membangkitkan industri garam dalam negeri. "Awal ide saya untuk segera mengembangkan industri garam di Kupang, dari Menteri Susi yang saat rapat kabinet membicarakan tentang impor garam. Saya langsung berpikir, NTT punya potensi yang sangat besar untuk menambal kebutuhan garam nasional yang tinggi," jelasnya di hadapan para bupati NTT.

Investasi industri garam di Kabupaten Nagekeo ini senilai 25 juta dolar AS untuk tahap awal. Presiden Direktur PT. Cheetham Salt, Arthur Tanudjaja menjelaskan, dalam pembangunan tahap awal dibutuhkan lahan seluas 1000 hektar. Namun, lanjut Arthur, 231 hektare lahan di antaranya masih terkendala reformasi agraria, salah satunya terkait sulitnya pembebasan lahan.

"Masalahnya‎ satu yaitu lahan sebesar 1.000 hektare. Kalau dirinci, akar masalah lahan ini dibagi menjadi empat hal. Ada reformasi agraria, adat, ada bekas HGU (Hak Guna Usaha), dan transmigrasi," kata Arthur saat berdialog dengan Menteri Perindustrian Saleh Husin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement