Sabtu 15 Nov 2014 20:30 WIB

2015, Penurunan Harga Minyak akan Lebih Tajam

Rep: CR05/ Red: Winda Destiana Putri
Minyak Mentah Iran
Foto: presstv
Minyak Mentah Iran

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- International Energy Agency (IEA) atau Badan Energi Internasional menyatakan, 2015 mendatang, penurunan harga minyak diprediksi akan lebih tajam.

IEA, perusahaan konsultan untuk 29 negara ini menilai, melemahnya permintaan dan lonjakan gas bumi di Amerika Serikat menyebabkan harga minyak mentah baru-baru ini jatuh di bawah 80 US dolar per barel

Jumat lalu, minyak mentah Brent, salah satu tolok ukur harga utama ini diperdagangkan senilai 78,13 dolar per barel. Ini mendekati level terendah dalam empat tahun terakhir.

"Kondisi ini semakin menjelaskan bahwa kami telah memulai babak baru dalam sejarah pasar minyak," kata IEA seperti dilansir BBC, Sabtu (15/11).

IEA melanjutkan, kecuali bila ada masalah pasokan baru, penurunan harga bisa dipulihkan kembali pada semester pertama tahun 2015.

Organisasi yang dibentuk setelah krisis minyak dari awal 1970-an untuk mengonsolidasikan negara-negara utama pengimpor minyak telah mengingatkan kelompok produsen minyak OPEC agar membatasi pasokan untuk meningkatkan kembali harga minyak.

Namun, didapat laporan bahwa Arab Saudi, anggota utama OPEC, belum bersedia untuk mematikan keran. Karenanya, anggota OPEC akan bertemu 27 November mendatang guna membahas masalah pasokan dan permintaan.

Sebagian besar anggota OPEC mengandalkan pendapatan minyak untuk mendukung pertumbuhan ekonomi negaranya. Jadi besar kemungkinan pemain minyak dan gas akan menjadi semakin khawatir akan penurunan harga minyak ini. Jatuhnya harga Brent selama delapan minggu berturut-turut merupakan tempo terpanjang sejak 1988, menurut data Reuters.

Departemen energi AS memperkirakan bahwa rendahnya harga minyak sejak pekan ini akan tetap bertahan hingga tahun depan. Kondisi ini juga disebutkan IEA Global Outlook sebagai tantangan bagi pertumbuhan jangka panjang industri, dan mengingatkan bahwa lonjakan gas bumi AS merupakan risiko serius bagi keamanan energi global.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement