REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus memanfaatkan peran strategis APEC bagi peningkatan ekspor Indonesia. Apalagi pada triwulan III 2014, ekspor terkontraksi 0,7 persen seiring dengan melambatnya ekonomi Cina, Jepang dan kawasan Eropa.
Pengamat ekonomi UI Muslimin Anwar mengatakan, harga komoditas dunia terus merosot di tengah menurunnya permintaan negara tujuan ekspor komoditas. Sehingga membuat kontribusi barang komoditas seperti nikel, tembaga, dan batubara semakin berkurang bagi perekonomian domestik.
Menurut dia, Jokowi harus mampu melakukan terobosan agar barang nonkomoditas semakin meningkat penyerapannya di negara-negara anggota APEC. Jokowi harus mampu meyakinkan para anggota APEC agar memasukkan Indonesia dalam rantai produksi global (global value chain).
"Caranya, dengan menawarkan berbagai kemudahan (ease of doing business) agar semakin banyak produsen kelas dunia yang membuka manufakturnya di Indonesia," kata Muslimin, Selasa (11/11).
Berbarengan dengan itu, kata dia, semakin meningkat pula investor yang tertarik menanamkan dananya dalam bentuk PMA atau FDI yang lebih bertahan lama. Ini sesuai dengan salah satu dari tiga agenda yang diusung presiden dalam pertemuan APEC di Beijing.
Yaitu tentang pengembangan produk, terutama yang memengaruhi hajat hidup orang banyak. Khususnya produk yang menjadi kepentingan Indonesia.
Ini pun, kata Muslimin, sejalan dengan program reformasi struktural yang sudah selayaknya dijalankan pemerintah Indonesia. Yaitu meningkatkan daya saing melalui keunggulan ekspor, meningkatkan kemandirian nasional dengan melakukan subsitusi ekspor, dan meningkatkan upaya pembiayaan pembangunan.
Jokowi diharapkan dapat mendesak negara anggota APEC untuk bersama sama melakukan upaya pemulihan ekonomi global. Negara maju diminta untuk meningkatkan sisi demand-nya.
Sementara negara berkembang diminta untuk melakukan reformasi struktural dan rebalancing economy secara cepat.