Selasa 28 Oct 2014 18:14 WIB

Bank Syariah Dinilai Gagal Bangun Branding

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
 Nasabah mendaftar tabungan haji di Mandiri Syariah, Jakarta Pusat, Kamis (2/9). (Republika/ Yasin Habibi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Nasabah mendaftar tabungan haji di Mandiri Syariah, Jakarta Pusat, Kamis (2/9). (Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil penelitian dari Lembaga riset yang khusus mengkaji konsumen kelas menengah Indonesia, Center for Middle Class Consumer Studies (CMCS) menyebutkan bahwa pangsa pasar bank syariah di Indonesia tidak banyak bertambah karena gagal membangun merek (branding) bank syariah itu.

Peneliti dari CMCS Yuswohady mengaku, pihaknya mengadakan penelitian mengenai perbankan syariah di Indonesia selama setahun terakhir. Diakuinya, sejak pertama kali muncul tahun 1991 lalu, bank syariah tumbuh luar biasa mencapai 40 persen setiap tahunnya. Angka pertumbuhan ini jauh melebihi pertumbuhan bank konvensional yang tidak sampai 20 persen. Hingga akhir 2013, setidaknya ada 11 bank umum syariah (BUS), 23 unit usaha syariah (UUS), dan 160 bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS).

“Tetapi karena tidak mampu membangun branding, pangsa pasar dan total aset bank syariah Indonesia belum sampai lima persen dari aset perbankan keseluruhan. Sehingga, bank syariah bisa disebut gagal merebut pangsa pasar kelas menengah Muslim Indonesia” katanya kepada ROL, di Jakarta, Selasa (28/10).

Tidak seperti penggunaan hijab yang imejnya dianggap keren dan mematuhi ajaran Islam, bank syariah belum mampu membangun branding yang tepat untuk merebut hati kelas menengah Muslim. Selain itu, ketidakmampuan bank syariah merebut 'kue' masyarakat kelas menengah Muslim Indonesia karena bank syariah terkendala dengan konsep yang bank syariah yaitu bank tanpa riba.

Karena riba adalah haram dan dilarang. Padahal, kata dia, riba membuat masyarakat sulit merasakannya bahkan sekilas merasa diuntungkan.

Ini berbeda halnya dengan makanan halal atau haram yang mudah sekali dirasakan atau dilihat. Contohnya ketika memakan daging babi pasti terasa ketika dikonsumsi. Atau ketika tidak memakai jilbab, maka masyarakat bisa dengan mudah melihat dan merasakannya.

Kendala yang dihadapi semakin diperparah dengan kurangnya peran dari pemerintah atau komunitas untuk mengembangkan dan mempromosikan bank syariah. Padahal, kata dia, kelas menengah Muslim Indonesia mengalami perubahan perilaku sejak akhir 2010 lalu dan memberikan perhatian lebih untuk produk-produk syariah.

Ini karena semakin makmur Muslim, justru semakin religius. Ia menyontohkan, kini antrean ibadah haji kini hingga sampai belasan tahun karena animo masyarakat Indonesia untuk berhaji sangat tinggi, sementara jatah dari pemerintah Arab Saudi tetap.

Belum lagi, berbusana hijab telah menjadi gaya hidup dan banyak dipakai Muslimah. Pihaknya juga mengaku telah melakukan survei bahwa 95 persen konsumen Muslim melihat label halal sebuah produk sebelum menggunakannya.

Artinya, sebenarnya bank syariah memiliki potensi untuk merebut pangsa pasar masyarakat Islam Indonesia, terutama kelas menengah Muslim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement