REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis First Asia Capital David Sutyanto, dalam economy outlook di BEI mengungkapkan gambaran ekomomi global. Termasuk pengaruh ketegangan politik Rusia dengan Amerika Serikat.
Meski pertumbuhan AS proyeksi naik ke 3,1 persen pada 2015, tapi The Fed akan tarik monetary easing jadi kekhawatiran global. Termasuk pelemahan ekonomi Cina dan Jepang.
Di dalam negeri, defisit APBN peru diwaspadai bagi ekonomi nasional. Fokus pasar saat ini lebih pada kebijakan setelah Jokowi dilantik termasuk kenaikan BBM dan realisasi program.
''Harga wajar indeks masih bisa naik di atas 5.000 pada 2015. Meski hitungan saya belum final, IHSG bisa sampai 6.000,'' kata David.
Analis AAEI Hans Kwee mengatakan rencana tapering pada 2013, Indonesia terimbas dari 5.000 ke 4.000 dan outflow Rp 20 triliun.
Akhir Oktober ini akan ada keputusan penghentian quantitatif easing oleh The Fed. Inflasi AS diproyeksi cenderung turun dari 2,2 persen ke sekitar 1 persen. Meski likuiditas dolar masih banyak.
Fed Rate saat ini 0,25 dan rencananya akan naik seiring pengangguran AS juga berkurang. Saat suku bunga The Fed naik, potensi uanga akan pulang ke AS. Tapi dolar masih likuid dan masih ada dana tertahan.
Persoalan besar justru dinilai Hans ada di Eropa yang kehilangan momen pemulihan ekonomi karena embargo terhadap Rusia. ''Berhentinya ekspor ke Rusia menimbulkan masalah sendiri di AS,'' kata Hans.
Belum lagi malah ekonomi di masing-masing anggota Uni Eropa. ''Ketika satu kawasan bergabung moneter tapi fiskal masih sendiri, jadi masalah,'' kata Hans.
Popularitas Putin naik setelah membuat Rusia jadi federal. Meski cadangan devisa turun karena embargo gerak bank sentral Rusia di EU dan AS.
Jepang juga lakukan quantitative easing bank sentral dan pemerintah lakukan stimulus. Utang Jepang tinggi dan pemerintah berupaya menaikkan pendapatan dengan menaikkan pajak sehingga pertumbuhan ekonomi turun.
Cina juga bermasalah pada harga properti dan ekspor impor akibat imbas pelemahan Eropa.
Tapi dilema, stimulus terus menerus akan seperti balon. Jadi ekonomi Cina memang sengaja diperlambat dari 7,5 ke 7,3 year on year.
Konsumsi minyak AS yang turun dari 2,8 ke 1,3 persen dari GDP. Sementara OPEC pertahankan produksi, sehingga harga minyak turun. Jika turun di 80-75 dolar AS per barel ini indikasi ekonomi benar-benar lemah.