REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga swadaya masyarakat Yayasan Tifa menyerukan pembukaan laporan pahak korporasi tambang guna meningkatkan transparansi terutama kepada masyarakat yang merasakan dampak langsung dari aktivitas pertambangan itu sendiri.
"Organisasi masyarakat sipil Indonesia menyerukan pembukaan laporan pajak korporasi tambang untuk membuka akses publik melalui audit sosial oleh masyarakat terutama di daerah dan kawasan terdampak," kata Manajer Program Yayasan Tifa Mickael Bobby Hoelman dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, hal itu selaras pula dengan rencana program 100 hari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk melindungi masyarakat adat sekaligus mengoptimalkan penerimaan negara bukan pajak terutama terhadap penerimaan PNBP Non Migas.
Hal itu, lanjutnya, juga dinilai penting guna mengurangi kebocoran penerimaan negara dan mengatur sektor-sektor baru yang sejauh ini belum tersentuh seperti perkebunan skala besar sawit dan pertambangan batubara.
Ia menegaskan bahwa sudah saatnya pembangunan berkeadilan dapat memastikan keberlanjutan dan memperkuat pemihakan terutama kepada masyarakat adat dan warga yang selama ini terdampak namun tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari kekayaan alam Indonesia.
"Untuk itu, dibutuhkan reformasi tata kelola sumber daya alam yang lebih menguntungkan negara sekaligus masyarakat," pungkasnya.
Sebelumnya, lembaga swadaya masyarakat Transparency International Indonesia (TII) menyatakan peningkatan transparansi, khususnya terkait pengumuman identitas pemilik perusahaan akan menghentikan koruptor dan pebisnis "hitam".
"Pesta para koruptor, pebisnis dan politisi hitam harus dihentikan. Ruang gerak mereka untuk memanfaatkan badan hukum/perusahaan sebagai sarana pencucian uang dan pengembangbiakan kekayaan hasil kejahatan mereka harus terus dipersempit," kata Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko.
Menurut dia, negara Indonesia sebenarnya sudah memiliki kerangka hukum yang dinilai kuat untuk memastikan agar seluruh informasi tentang identitas perusahaan dan para pemegang sahamnya dibuka ke publik.
Upaya menyamarkan uang haram, menurut dia, hampir dapat dipastikan menggunakan penyedia jasa keuangan, atau menggunakan perusahaan yang menawarkan anonimitas atau penyembunyian identitas.
Apalagi, lanjutnya, survei yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen dari 200 kasus korupsi besar di dunia menggunakan "perusahaan terselubung" untuk mengaburkan identitas pelaku kejahatan.
Ia juga menjelaskan, dalam kebanyakan kasus, aset disembunyikan dalam lebih dari satu yurisdiksi asing termasuk negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Swiss, serta tempat yang terkenal sebagai tempat aman untuk melakukan tindakan itu seperti Kepulauan Cayman, Singapura, Hong Kong, Jersey dan Bahama.