Kamis 11 Sep 2014 18:33 WIB

Ternyata, Kenaikan Elpiji Pengaruhi Inflasi

Rep: Satya Festiani/ Red: Ichsan Emerald Alamsyah
  Pekerja menata tabung elpiji (liquified petroleum gas/LPG) 12 kg di di salah satu agen gas elpiji di Jakarta Timur, Selasa (9/9).   (Republika/ Yasin Habibi)
Pekerja menata tabung elpiji (liquified petroleum gas/LPG) 12 kg di di salah satu agen gas elpiji di Jakarta Timur, Selasa (9/9). (Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID,

JAKARTA -- Bank Indonesia memperkirakan inflasi pada 2014 diperkirakan mendekati batas atas dari kisaran 3,5-5,5 persen. Hal itu disebabkan adanya kenaikan harga elpiji 12 kiogram sebesar Rp 1.500 per kilogram.

Baca Juga

"Hitungan kami sampai saat ini kisaran inflasi masih akan berada dalam sasaran target, tapi mendekati batas atas," ujar Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Tirta Segara, Kamis (11/9). Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pun dapat mengerek inflasi.

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter BI Solikhin mengatakan, jika Pemerintah menaikan harga BBM sebesar Rp 1000, inflasi dapat meningkat 1 persen. "Tapi kenaikan itu yang perlu dipahami itu one time shock. Dampak peningkatannya, secara historis, hilang dalam 2-3 bulan," ujarnya.

Ia mengatakan, BI akan menggunakan bauran instrumennya karena kenaikan BBM akan mempengaruhi banyak hal. "Kita melihat kemungkinan second round effectnya," ujarnya.

Sementara itu, risiko eksternal berasal dari normalisasi kebijakan moneter the Fed yang diperkirakan berlangsung secara gradual namun terdapat kemungkinan kenaikan Fed Fund Rate terjadi pada triwulan II atau III tahun 2015.

Pertumbuhan ekonomi di negara berkembang pun diperkirakan relatif terbatas sehingga mendorong berlanjutnya penurunan harga komoditas. Pertumbuhan ekonomi domestik masih moderasi terlihat dari konsumsi rumah tangga dan penjualan kendaraan bermotor yang melambat.

Pertumbuhan ekonomi 2014 diperkirakan menuju batas bawah dari kisaran 5,1 hingga 5,5 persen. Kinerja investasi pun diperkirakan membaik tetapi masih terbatas. "Hal itu dipengaruhi masih terbatasnya perbaikan ekspor seiring masih lemahnya pertumbuhan negara-negara emerging markets," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement