Rabu 20 Aug 2014 18:26 WIB

Pemerintah Baru Diminta Kritisi Keberhasilan SBY

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Mansyur Faqih
Hendri Saparini
Foto: Agung Supriyanto/Republika
Hendri Saparini

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidato kenegaraan terakhirnya pekan lalu memaparkan sejumlah keberhasilan pemerintahannya selama 10 tahun terakhir. Namun, pemerintah yang akan datang dituntut agar memaknai capaian tersebut dengan lebih kritis.

"Pasalnya, angka-angka (keberhasilan) yang disampaikan SBY itu memang benar. Tetapi belum tentu diikuti oleh paparan dan analisis yang benar," kata pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Hendri Saparini, di Jakarta, Rabu (20/8).

Ia mencontohkan, laporan SBY yang menyebutkan utang negara berada dalam situasi yang lebih aman dibandingkan masa krisis 1998. Di situ, SBY mengklaim rasio utang negara terhadap PDB (produk domestik bruto) menurun dari 46 persen pada 2005, menjadi 26 persen pada 2013. 

Di satu-satu sisi, capaian tersebut memang dapat disebut sebagai keberhasilan. Namun, kata Hendri, rasio utang terhadap PDB tidak cukup dijadikan sebagai pertimbangan dalam kebijakan utang dan pembiayaan APBN bagi pemerintah berikutnya.

Menurutnya, ada data penting lainnya yang juga harus diperhatikan. Misalnya, stok utang pemerintah pusat yang mengalami peningkatan hampir dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir. 

Pada 2005, nilai utang pemerintah pusat sebesar Rp 1.268 triliun. Kemudian, pada Juni 2014, jumlahnya membengkak menjadi Rp 2.508 triliun.

Sementara, indikator debt to service ratio (DSR) dan indikator keseimbangan primer pada APBN saat ini menunjukkan kemampuan pemerintah untuk membayar utang tersebut semakin menurun. 

Ini sekaligus menjadi 'lampu kuning' bagi pemerintah selanjutnya agar berani meninggalkan rezim yang gemar berutang. 

"Apalagi, tingkat suku bunga global pada tahun depan dipastikan akan meningkat. Akibatnya, jika defisit APBN diperlebar, itu bakal memaksa pemerintah baru kembali membiayai APBN dengan mahal," ujar Hendri.

Sebelumnya, SBY juga mengklaim peningkatan volume APBN selama 10 tahun terakhir sebagai sebuah keberhasilan. Nilai APBN yang tadinya hanya sebesar Rp 500 triliun pada 2005, kini menjadi Rp 1.800 triliun pada 2014. 

Namun, menurut Hedri, klaim tersebut juga patut dikritisi. "APBN memang meningkat. Tapi itu tidak banyak membawa banyak perubahan terhadap perekonomian Indonesia. Capaian pertumbuhan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan pengangguran di era SBY masih di bawah target."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement