REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mencegah kebocoran penerimaan negara dari pajak di sektor pertambangan.
"Ini diskusi terusan tahun lalu, kami pernah diskusi soal pertambangan bagaimana memperbaiki tata keolola sektor pertambangan sehingga penerimaan negara tidak hilang," kata Direktur Jenderal Ditjen Pajak Kemenkeu Fuad Rahmany di gedung KPK Jakarta, Kamis (3/7).
KPK sebelumnya pernah menyatakan tujuh masalah pajak di sektor mineral dan batu bara antara lain belum akuratnya data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), kurangnya data pendungkung khususnya data produksi karena adanya perbedaan statistik di lembaga terkait, belum optimalnya data pengelolaan permintaan data eksternal pajak serta minimnya pengawasan terhadap wajib pajak. "Bukan hanya penerimaan negara yang hilang tapi jangan juga tambang-tambang kita bocor ke luar negeri tanpa diketahui oleh kita," tambah Fuad.
Menurut Fuad, nilai kebocoran tersebut hingga mencapai triliunan rupiah. Ia pun mengakui kesulitan Ditjen Pajak untuk mendapatkan NPWP para perusahaan tambang. "Karena yang memberikan izin pihak instansi pemerintah pusat dan daerah terutama daerah untuk IUP (Izin Usaha Pertambangan). Ini kan harus ada kewajiban NPWP-nya dan NPWP harus benar-benar divalidasi Ditjen Pajak," jelas Fuad.
Fuad menambahkan bahwa selama ini banyak NPWP perusahaan fiktif, tapi Ditjen Pajak tidak bisa menutup izin perusahaan tambang dengan NPWP fiktif tersebut. "Selama ini NPWP-nya pada 'ngarang' tapi kan kami di Ditjen Pajak tidak bisa melarang, nggak bisa tutup izinnya, yang bisa tutup itu hanya yang berikan izin yaitu pemerintah daerah jadi itu yang harus ditertibkan, harus diregistasi ulang supaya tidak bocor semua tambang-tambangnya," tambah Fuad.
Berdasarkan data KPK, dari 3.826 pemegang IUP, hampir 25 persen atau 724 pengusaha tidak punya NPWP bahkan pemegang IUP yang statusnya clean and clear tidak punya NPWP. Perbedaan data produksi minerba Indonesia pun tampak dari data di Ditjen pajak minerba pada 2012 menunjukkan produksi mencapai 228 juta dolar AS, tapi data World Coal Association (WCA) mencapai 443 juta dolar AS, sedangkan data US Energy Information Administration (EIA) senilai 452 juta dolar AS.