REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Ketua Asosiasi Pengusaha Kakao Indonesia (Askindo) Sulsel Yusa Rasyid Ali mengatakan kapasitas industri pengolahan kakao dan produksi cenderung stagnan.
"Kondisi ini berpotensi menjadikan Indonesia sebagai negara importir kakao," kata Yusa, Ahad (15/6).
Ia mengatakan, sejak bea keluar kakao diterapkan pada 2010, dalam waktu dua tahun kapasitas industri sudah meningkat lebih dari 100 persen atau mencapai 600.000 ton.
Sayangnya, produksi kakao masih di bawah 500.000 ton. Saat ini produktivitas kakao di Indonesia sebesar 300 kilogram per hektare masih cukup rendah. Padahal, idealnya produktivitas kakao bisa mencapai 2 ton per hektare per tahun.
Untuk produksi kakao Sulsel per tahunnya, lanjut dia, mencapai 100.000 ton, sementara kapasitas produksi bahan baku industri kakao nasional sebesar 600.000 ton per tahun.
Kontribusi Sulsel terhadap pemenuhan bahan baku industri kakao nasional diakui masih cukup baik dibanding daerah sentra penghasil kakao lainnya.
"Namun demikian, masih diperlukan upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan volume produksi kakao Sulsel," katanya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Provinsi Sulsel diharapkan dapat meningkatkan produksi serta luas lahan kakao yang bertujuan mendorong peningkatkan kontribusi Sulsel dalam pemenuhan bahan baku industri kakao nasional.