REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberlakuan Undang-undang nomor 4 Tahun 2009 tentang larangan ekspor mineral dan batu bara (minerba) sejak awal tahun lalu telah membuat sejumlah perusahaan tambang gigit jari. PT Aneka Tambang Tbk (Antam), misalnya, terpaksa membukukan penurunan penjualan di sepanjang kuartal I 2014.
Penjualan perseroan milik negara ini di sepanjang triwulan pertama mengalami penurunan sebesar 31 persen menjadi Rp 2,3 triliun. Hal ini membuat Antam mencatat rugi bersih sebesar Rp 272,6 miliar.
Penurunan penjualan terutama disebabkan oleh diberlakukannya UU Minerba pada Januari 2014. "Periode kuartal I 2014 sangat menantang bagi Antam karena larangan ekspor bijih mineral dan masih rendahnya harga komoditas," kata Direktur Utama Antam Tato Miraza, Selasa (3/6).
Namun di sisi lain, Antam juga mulai melihat adanya kenaikan harga komoditas sejak awal kuartal II. Hal ini didorong oleh peruahan keseimbangan pasokan dan permintaan komoditas dunia akibat larangan ekspor.
Harga nikel telah kembali ke level yang belum pernah terlihat sebelumnya sejak 18 bulan. Harga spot rata-rata nikel di London Metal Exchange (LME) mencapai 8 dolar AS per pon di April 2014.
Faktor pendorong kenaikan harga ini adalah peran Indonesia yang menyuplai hampir 60 persen kebutuhan bijih nikel ke Cina. Setelah pemberlakuan larangan ekspor, level persediaan akan turun drastis seiring dengan penggunaan. Sementara, Cina masih mencari substitusi pasokan bijih nikel dari Indonesia yang sesuai ekspektasi.
Jepang juga merupakan importir bijih nikel dari Indonesia. "Saat ini Jepang juga masih kesulitan mencari substitusi bijih nikel. Kedua faktor inilah yang mendorong peningkatan harga komoditas," kata Tato.