REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meski terpisah dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pihak Bank Indonesia (BI) masih bertindak mengawasi pembayaran uang elektronik atau e-money.
"Kami bertindak sebagai regulator dan pengawasan juga," kata Analisis Senior Divisi Pengembangan Instrumen Pembayaran Bank Indonesia Susiati Dewi saat acara seminar Ikatan Bankir Indonesia (IBI) di Jakarta, Kamis (8/5). BI juga menerbitkan aturan mengenai pengawasan pembayaran.
Susi mengatakan, performa dari sistem pembayaran akan dipantau. Salah satunya dalam proses isi ulang atau top up. Dalam hal tersebut memang diperbolehkan dikenakan biaya. Namun dalam aturan, uang konsumen yang tersimpan dalam e-money tetap utuh dan tidak ada masa kadaluarsa. Selain itu BI juga mengawasi secara on dan off side. Apabila ada tindakan di luar aturan maka akan ada penindakan. Salah satunya, perizinan e-money yang dibatasi setiap lima tahun dan harus diperbaharui bisa dikurangi. Atau bahkan pencabutan izin bagi pihak bank atau non bank.
Kemudian untuk mobil money, yakni sistem uang elektronik dengan menggunakan nomor ponsel sebagai nomor rekening, harus ada interaksi daei berbagai pihak. Saat ini sekitar 70 persen perbankan berkomitmen ikut meliterasi edukasi uang elektonik ini. Saat ini Indonesia memang belum menerapkan simplified Know Your Customer (KYC) untuk data konsumen bank seperti negara lain. Tetapi saat ini sedang dicanangkan e-form sebagai fasilitas. Nantinya pengguna akan mendaftar secara elektronik tanpa harus mengunjungi bank terdekat.
Kendala mungkin saja datang dari infrastruktur sinyal atau listrik. Namun bukan berarti menjadi penghambat masyarakat tak bisa menggunakan mobile money. Berdasarkan survey BI 2012 lalu, sebanyak 270 pengguna seluler yang bisa menjadi market. Selain itu ada 2 juta agen dan retailer telco yang tersebar di Indonesia. Hingga saat ini sudsh 12,5 juta mobile money diterbitkan. "Ini yang bisa kita rangkul untuk menjadi konsumen," kata Susi.