REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mengatakan nilai tukar rupiah perlu didorong terus stabil agar dapat menjadi instrumen yang mampu meningkatkan ekspor Indonesia. "Nilai tukar harus buat ekspor kompetitif dan impor terkendali," kata Mirza saat ditemui di Kompleks Perkantoran BI, Jakarta, Jumat (2/5).
Mirza menuturkan, nilai tukar yang menguat belum tentu selalu baik atau nilai tukar melemah selalu jelek. Menurutnya, pola pokir harus diubah, di mana yang terpenting adalah kestabilan nilai tukar itu sendiri. "Karena kalau tidak stabil orang tidak bisa usaha, tidak bisa buat anggaran. Nanti kalau stabil, dunia usaha bisa melakukan kerjanya," kata Mirza.
Ia menuturkan, tantangan nilai tukar bagi Indonesia yakni membuat neraca perdagangan surplus lebih besar dan defisit neraca transaksi berjalnnya lebih kecil. "Kami perkirakan current account deficit 2,5 persen tahun ini dan tahun depan 2 persen bisa tercapai," ujar Mirza.
Selain itu, lanjut Mirza, hal lain yang perlu diperhatikan yakni tren suku bunga luar negeri, di mana suku bunga Amerika tahun depan kemungkinan besar sudah mulai naik. "Pada 2015 mungkin kuartal dua hampir pasti sudah akan mulai naik. Kalau suku bunga Amerika naik, itu akan membuat mata uang negara lain sedikit terdepresiasi," kata Mirza.
Mirza mencontohkan Cina, yang satu bulan terakhir melemahkan mata uangnya. Cina yang tadinya mata uangnya menguat, bebarapa waktu terakhir dibuat melemah supaya ekspor negara tersebut meningkat dan tidak terlalu turun. "Memang mereka ingin ekonominya turun ke 7,5 persen tapi mereka juga tidak mau di 7 persen jadi mereka sekarang pakai instrumen kurs supaya kursnya lebih lemah sehingga ekspornya lebih kompetitif," kata Mirza.
Terkait kemungkinan menguatnya rupiah dengan adanya pemerintahan baru, menurut Mirza, hal itu tergantung kabinet yang dibentuk oleh presiden mendatang. "Pemerintahan baru kan belum ada, baru nanti setelah Oktober kita tahu kabinet dan program-programnya," kata Mirza.