REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berharap pihaknya bisa duduk bersama dengan Pemerintah, Dewan Jaminan Sosial (DJSN) dan Badan Penyelenggara. Khususnya membahas desain kebijakan yang tepat bagi program jaminan pensiun BPJS.
OJK Khawatir program jaminan pensiun menyebabkan ketidakmampuan bayar atau insolvensi. Hal tersebut dikatakan Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK, Dumoly Pardede. Ia mengatakan BPJS perlu berhati-hati dalam membuat funding system, khususnya program yang sifatnya wajib.
Apalagi program berjalan berkepanjangan dan terkait dengan anggaran negara.
Ia berharap BPJS membuat program dimana iuran dengan dana pensiun yang didapatkan masyarakat haruslah tepat.
Program BPJS, tutur Dumoly, harus sejalan dengan program yang telah eksis seperti pensiun swasta, BUMN atau yang telah dibuat lembaga asuransi.
Karena umumnya menurut dia ada dana pensiun yang bisa mengganti biaya keseluruhan. Namun ada juga yang sifatnya premium tergantung jabatan atau memang kemampuan perusahaan swasta itu.
Oleh karena itu ia berharap BPJS dalam hal ini DJSN bekerja sama dengan pemerintah dan OJK membuat kebijakan yang tepat. Karena bisa terjadi suatu insolvensi, di mana kewajiban telah ditetapkan namun iuran tidak mampu membiayai kewajiban itu.
Ia menyarankan agar ada kajian perlu tidaknya opting out. Dengan kata lain batasan yang bisa dibiayai BPJS.
Kemudian sisanya bisa melalui program yang ada di BUMN, swasta dan asuransi. "Kami tak keberatan karena kami regulator. dan (perlu) bicara tentang konsepsi going corcern dan manfaatnya," tutur dia ketika ditanya rencana BPJS menerapkan persentase iuran delapan persen dari gaji peserta, Kamis (24/4).