REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rapat koordinasi terkait pengalokasian anggaran bantuan sosial (bansos) nonprogram di kantor Kementerian Keuangan, Selasa (22/4), memberikan mandat kepada Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit terhadap anggaran bansos pada 11 kementerian/lembaga (K/L) senilai Rp 18,6 triliun.
Namun begitu, perwakilan dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang concern dalam mengawasi kinerja anggaran negara meragukan efektivitas audit tersebut. Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Uchok Sky Khadafi menjelaskan, apabila audit anggaran bansos pada 11 K/L dilakukan, hasilnya tidak dapat dilihat dan dibaca oleh publik. "BPKP adalah lembaga audit yang sangat tertutup di seluruh Indonesia," ujar Uchok kepada ROL, Rabu (23/4).
Menurut Uchok, BPKP harus mempergunakan audit investigasi terhadap anggaran bansos. BPKP diminta tidak mengaudit dengan cara mengambil sampel. "Karena, hasil audit akan memperlihatkan penyimpangan lain dan menyembunyikan penyimpangan anggaran bansos lainnya. Kalau hanya audit sampel terhadap bansos, lebih baik BPKP tidak usah mengaudit bansos karena hanya menghabiskan anggaran dan audit bansos hanya dijadikan proyek-proyek oleh BPKP," terang Uchok.
Rapat koordinasi semalam juga memutuskan audit BPKP tidak akan mencakup sejumlah anggaran bansos program di luar alokasi Rp 18,6 triliun tersebut. Seperti program bantuan operasional sekolah (BOS), bantuan siswa miskin (BSM), program keluarga harapan (PKH), penerima bantuan iuran (PBI), program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) dan dana cadangan bencana alam.
"Seharusnya, audit bansos juga mencakup dana BOS, BSM, PKH, PBI, PNPM dan cadangan bencana alam untuk melihat penyimpangan juga. Contoh, anggaran PNPM setiap tahun diberikan, kok angka kemiskinan tetap saja tinggi," kata Uchok.
"Itu tandanya, ada anggaran dan program seperti BOS, BSM, PKH, PBI dan PNPM dan dana cadangan bencana alam tidak efektif atau ada dugaan untuk dikorup," tambahnya.