REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam laporan terbaru menyatakan bahwa usaha kecil menengah (UKM) se-Asia, sebagai tulang punggung pertumbuhan kawasan, membutuhkan akses permodalan yang lebih baik untuk tumbuh dan menyiapkan lapangan pekerjaan.
"Kebanyakan unit kecil di Asia menghadapi permasalahan dalam hal pembiayaan," kata Kepala Deputi Kantor ADB Integrasi Ekonomi Regional, Noritaka Akamatsu dalam laporan perkembangan pembiayaan UKM yang diterima di Jakarta, Jumat (4/4).
Noritaka menjelaskan UKM perlu mengembangkan skema permodalan yang lebih luas yaitu dari lembaga keuangan non bank, sehingga tidak bergantung hanya dari pembiayaan yang berasal dari sektor perbankan. "UKM membutuhkan skema pembiayaan yang lebih luas melalui opsi lembaga keuangan non bank, untuk mendukung pembiayaan dari sektor perbankan, termasuk dukungan dari sektor pasar modal yang lebih potensial," katanya.
Laporan ADB menjelaskan UKM dapat diartikan sebagai unit yang memiliki tenaga kerja kecil dengan aset yang terbatas, penyumbang sebanyak 98 persen kegiatan bisnis dan menyediakan 66 persen lapangan kerja di kawasan Asia. Namun, UKM hanya menyumbang 38 persen Produk Domestik Bruto (PDB) di regional Asia, yang berarti ada potensi besar yang dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi melalui sektor UKM.
Laporan ini menambahkan UKM masih kalah bersaing dengan perusahaan besar dalam mendapatkan permodalan dari sektor perbankan, terutama setelah terjadi krisis finansial global pada 2008-2009, karena kekhawatiran adanya risiko dan untuk menjaga stabilitas keuangan.
Meskipun banyak pemerintah yang telah melahirkan kebijakan komprehensif untuk mendukung pertumbuhan UKM, namun fokus pembiayaan dari perbankan sangat mendesak, seperti penyaluran KUR di Indonesia dan Thailand, skema permodalan di Malaysia dan Bangladesh serta pinjaman wajib di Filipina.
Laporan ADB mencontohkan UKM Cina yang telah memberikan kontribusi 50 persen penerimaan pajak, 60 persen dari PDB dan 80 persen lapangan kerja bagi kaum urban. Alternatif pembiayaan lainnya tersedia melalui pasar ekuitas di bursa Shanghai, instrumen obligasi UKM dan firma mikrokredit. Kondisi tersebut memperlihatkan situasi UKM di Cina yang berbeda dengan negara Asia lainnya, namun studi lebih lanjut diperlukan untuk mencari keterkaitan antara skema pembiayaan yang lebih luas dengan pertumbuhan sektor UKM.
Banyak hal yang harus diupayakan di seluruh kawasan, untuk mewujudkan opsi permodalan non bank sebagai kebijakan nasional dan memelihara pilihan lainnya, seperti pemanfaatan pembiayaan berbasis aset dan instrumen pasar modal. Laporan ADB ini mencakup data UKM di 14 negara, dan menyatakan bahwa UKM menjadi salah satu bagian rantai ekonomi global yang dapat menyediakan akses pada pembiayaan perdagangan serta model permodalan yang inovatif untuk integrasi pada lingkungan bisnis global.