REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir menyatakan rencana pembebasan bea masuk impor kakao yang diwacanakan Kementerian Perdagangan perlu dipertimbangkan secara matang.
"Kalau BM dinolkan harga kakao petani akan semakin anjlok, petani akan terganggu. Pertimbangkan matang-matang (pembebasan BM kakao)," katanya di Jakarta, Rabu.
Jika pembebasan BM diberlakukan, tambahnya, harga kakao impor semakin murah dampaknya petani semakin enggan mengembangkan tanaman kakao.
Sebelumnya Kementerian Perdagangan mewacanakan penghapusan BM biji kakao setelah ada laporan dari Asosiasi Pengusaha Kakao Indonesia (APKI) yang menyatakan bahwa produksi biji kakao nasional tidak mencukupi kebutuhan industri cokelat dalam negeri yang tinggi.
"Idenya, kami ingin memurahkan BM biji kakao untuk kepentingan industri, agar kapasitas nasional yang `missed` sebanyak 100 ribu hingga 120 ribu ton itu bisa terisi," kata Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi.
Menurut Mendag dengan rencana penghapusan BM biji kakao tersebut, Indonesia diharapkan mampu menjadi eksportir pada industri kakao baik untuk produk setengah jadi maupun produk yang sudah jadi.
Saat ini, total kapasitas terpasang dari perusahaan pengolahan biji kakao dalam negeri, termasuk kapasitas terpasang perusahaan yang mati suri mencapai 850.000 ton per tahun. Sementara, produksi kakao nasional terus merosot dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, tahun 2010 produksi kakao nasional 837.918 ton, dan turun menjadi 712.231 ton pada 2011.
Bahkan, Asosiasi Kakao Indonesia menyebutkan, tahun lalu produksi kakao lokal hanya 450.000 ton dan diproyeksikan kembali susut menjadi 425.000 ton pada 2014.
Salah satu penyebab turunnya produksi kakao nasional adalah melorotnya produktivitas kakao akibat usia tanaman yang sudah tua.
Pada 2009, produktivitas kakao masih sekitar 822 kilogram (kg) per hektare (ha) dan melorot menjadi 739 kg per ha pada 2012.
Menurut Dirjen Perkebunan, data-data produksi kakao saat ini berbeda-beda antara satu instansi dengan intansi lainnya ataupun yang dikeluarkan pemerintah daerah, industri bahkan asosiasi petani.
"Masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri dengan data yang mereka miliki," katanya.
Dia menilai, pembebasan BM impor kakao tersebut hanya melihat kepentingan industri tanpa memperhatikan nasib petani kakao dalam negeri.
Gamal menyatakan, berdasarkan laporan dari dinas-dinas pada daerah produsen kakao diperoleh produksi secara nasional hampir 1 juta ton sementara itu kapasitas terpasang industri pengolahan pada 2013 hanya 400 ribu ton turun dari 2011 sebanyak 460 ribu ton.
"Oleh karena itu seharusnya hanya ada satu data produksi yang sama jangan berbeda-beda sehingga tidak timbul spekulasi," katanya.
Gamal mengakui, hingga saat ini Kementerian Perdagangan belum melibatkan pihaknya dalam pembahasan rencana pembebasan BM impor kakao.
Menurut dia, untuk meningkatkan produksi kakao rakyat perlu sinergi antar instansi maupun pemangku kepentingan.
Dirjen Perkebunan menyatakan, dengan produksi sebanyak 720 ribu ton Indonesia berada termasuk dalam produsen kakao terbesar dunia setelah Ghana 700-800 ribu ton dan Pantai Gading 760 ribu ton.