REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) Kemenag Anggito Abimanyu menyatakan pengelolaan dana haji saat ini memasuki masa transisi, yaitu peletakan dasar sistem keuangan agar memiliki nilai manfaat yang besar bagi jamaah haji ke depan.
"Itu (pengelolaan dana haji antara Rp8 hingga Rp10 miliar setiap tahun yang berasal dari setoran jamaah) godaan besar bagi siapa pun yang mengelola uang sebesar itu," katanya dalam dialog publik bertajuk 'Manajemen Pengelolaan Haji dan Pembangunan Ekonomi Umat' di Jakarta, Jumat malam.
Perhelatan yang digagas Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) itu dihadiri Ketua PB PMII Addin Jauharuddin, Sekretaris Ditjen Penyelenggaraan Haji Hasan Fauzi dan Direktur Pengelolaan Dana Haji Ramadlan Harisman.
"Setahun terakhir, dana haji yang ada di sejumlah bank konvensional secara bertahap dialihkan ke 17 Bank Penerima Setoran (BPS) syariah. Itu sesuai dengan amanat UU No.13 tahun 2008 tentang penyelenggaraan ibadah haji," katanya.
Ia menyebut dana abadi umat (DAU) hingga kini tercatat mencapai Rp2,3 triliun, sedangkan dana setoran awal jamaah haji ditambah nilai manfaat setelah dikurangi dana operasional kini mencapai Rp64,5 triliun.
Sejak ia menjabat Ditjen PHU, ada tiga dimensi penting, yaitu dimensi pertama yang menyangkut aspek ibadah. Persoalan ibadah itu menjadi ruh setiap orang melaksanakan haji.
Esensinya, bagaimana seseorang mencapai haji mabrur, kesalehan sosialnya meningkat dan kualitas ibadahnya makin bagus.
Dimensi kedua adalah aspek sosial. Haji menjadi status sosial yang bisa digambarkan ketika dalam acara kenduri seorang yang sudah berhaji diberi kursi terhormat.
Atau, dalam shalat di masjid diberi tempat tiga baris pada shaf terdepan. Kenyataan ini mendorong terjadinya antrean panjang calon jamaah haji di daerah tertentu.
Di Indonesia, ada daerah yang punya antrean panjang daftar haji; yaitu di Kabupaten Wajo sampai 20 tahun, lalu disusul daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Aceh.
"Kita memang menggunakan sistem first-come-first-serve, sistem pelayanan dengan mendahulukan orang pertama pendaftar haji yang didahulukan," katanya.
Dimensi ketiga adalah aspek keuangan. Hal ini yang menarik perhatian publik. Sementara aspek sosial dan ibadah kurang mendapat tempat di media massa.
Kalaupun ada persentasenya kecil. Apalagi untuk membicarakan rukun haji dan kemabruran haji.
"Ke depan, hal itu (dimensi ibadah dan sosial) harus mendapat perhatian lebih, bukan hanya dimensi fulus (keuangan)," katanya.
Urusan "Fulus"
Soal "fulus" atau keuangan di Kemenag, khususnya yang menyangkut haji kadang menjadi bahan "olok-olokan" atau fitnah, karena Indonesia menerapkan sistem pendaftaran antrean.
Sistem ini juga dianut oleh Malaysia dan beberapa negara, karena banyaknya animo untuk menunaikan ibadah haji.
Jika menggunakan sistem buka tutup, yang banyak dirugikan adalah warga yang berada jauh dari kota besar. Terlebih tak semua warga memiliki akses yang baik terhadap perbankan dan informasi yang masih minim di pedesaan.
"Berbeda dengan Pakistan, pendaftaran menggunakan sistem buka dan tutup. Tak ada uang mengendap," katanya.
Terkait dengan itu, ia menegaskan, tidak benar anggapan yang menyebut kementerian tersebut ingin menguasai dana haji. Kemenag sadar betul berbagai keterbatasan yang dimilikinya untuk mengelola dana haji yang demikian besar.
"Kemenag sudah secara sadar melihat bahwa tidak mungkin secara institusi bisa mengelola uang haji yang sangat banyak ini. Sehebat apa pun dirjen dan menterinya, itu tidak mungkin. Sebab kita punya keterbatasan sebagai pejabat publik yang bertugas melayani," tegas Anggito.
"Kita sudah sejak awal ingin memisahkan dana haji. Tidak betul anggapan bahwa kita ingin menguasai dana yang ada. Dana sebesar itu membutuhkan manajemen keuangan syariah yang handal," tambahnya.
Kemenag sudah melakukan otokritik dengan evaluasi bahwa secara institusi harus diakui tidak mampu mengelola keuangan yang demikian besar. Namun demikian, lanjut Anggito, tetap harus ada Undang-Undang yang mengatur bahwa dana haji itu bisa dikelola oleh badan tertentu.
Kemenag kini sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Keuangan Haji yang di antaranya mengatur pembentukan badan pengelola keuangan haji.
"Kalau uang bisa dikelola dengan prinsip syariah yang modern dan profesional, maka diharapkan mempunyai nilai manfaat yang lebih sehingga dapat digunakan untuk pemberdayaan jamaah haji dan asnaf lainnya," katanya.
Anggito menambahkan bahwa jika dana haji sudah dikelola oleh badan khusus, maka hal itu akan mengurangi beban Ditjen PHU yang paling berat.
"Tidak ada institusi kementerian yang ada di Indonesia yang sehebat Ditjen PHU dari sisi mandatnya, sebab selama ini kita yang melakukan semuanya, mulai dari urusan ibadah, transportasi, akomodasi, konsumsi, dan lainnya," ujar Anggito.
Ke depan, konsentrasi Kemenag adalah pada masalah ibadah dan pelayanan. Pelayanan pun akan dikerjasamakan dengan pihak ketiga.
"Kita juga akan memasuki era dana investasi haji setelah selesai RUU Pengelolaan Keuangan Haji mengatur pemisahan antara regulator dengan eksekutor," katanya.
"Beri kami kesempatan. Insyallah, kita akan terus lebih baik dari negara lainnya, karena jumlah jamaah kita sangat besar," ujarnya.