Ahad 23 Mar 2014 17:17 WIB

'Jokowi' Tak Mampu Pertahankan Rupiah

Rep: Friska Yolandha/ Red: Mansyur Faqih
Mata uang Rupiah.
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Mata uang Rupiah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laju nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sepanjang pekan lalu melemah tipis. Euforia pencapresan Joko Widodo (Jokowi) tak mampu mempertahankan penguatan nilai tukar rupiah.

Per 14 Maret nilai tukar antarbank (JISDOR) mencatat, rupiah berada di level Rp 11.421 per dolar AS. Awal pekan lalu (17 Maret 2014), nilai tukar rupiah menguat menjadi Rp 11.272. Namun rupiah ditutup melemah per 21 Maret menjadi Rp 11.431 per dolar AS.

"Rupiah sempat mengalami kenaikan dua pekan kemarin. Namun kemudian terkoreksi karena sentimen rapat FOMC," ujar analis Trust Securities Reza Priyambada, Ahad (23/3).

Adanya penilaian terhadap meningkatnya capital inflow sehubungan dengan sentimen 'Jokowi for President' memberikan amunisi bagi penguatan rupiah. Pelaku pasar menilai Jokowi akan mendukung pembangunan infrastruktur, konstruksi dan kesehatan masyarakat yang berujung pada kesejahteraan rakyat. 

Meski pun belum tertuang dalam kebijakan secara detail, hal ini menjadi sentimen positif terhadap rupiah. Namun, hal itu tak cukup kuat untuk mencegah sentimen negatif global. 

Memang sudah dipastikan akan adanya pemotongan stimulus The Fed senilai 10 miliar dolar AS  setiap bulan. Namun tetap membuat rupiah sedikit terkoreksi. Pelaku pasar tetap merespon negatif rencana ini.

Rendahnya proyeksi pertumbuhan Indonesia oleh Bank Dunia dan Fitch Ratings di level 5,3 persen juga menjadi sentimen negatif bagi investor. Sehingga, nilai tukar rupiah masih di bawah target resisten, yaitu Rp 11.360.

Reza menilai, pasar memerlukan sentimen positif agar kembali menguat seperti pekan lalu. "Tanpa sentimen positif, indeks akan kembali melemah, termasuk nilai tukar," kata dia.

Ketua baru The Fed Janet Yellen menyatakan akan merevisi pedoman suku bunga acuan. Kenaikan suku bunga the Fed dikhawatirkan bakal berdampak bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. Dampak utama yang bakal terlihat adalah arus dana keluar.

"Karena kita belum price in, pasti ada dampak," kata Managing Director of Global Market The Hongkong Shanghai Banking Corporation (HSBC) Ali Setiawan belum lama ini.

Aliran modal asing yang keluar bisa saja sebesar ketika krisis 2008. Di pasar obligasi saja, 33 persen portofolio masih dimiliki asing. Ketika terjadi krisis 2008, dana asing yang keluar dari pasar obligasi mencapai 3 miliar dolar AS. 

Ali berpendapat, Bank Indonesia (BI) bisa saja menaikkan suku bunga acuan kembali jika dianggap perlu. Namun BI dinilai akan memantau pergerakan ekonomi terlebih dahulu dan mencermati indikator apa yang memaksa menaikkan suku bunga acuan. "Menaikkan BI rate itu pilihan terakhir," kata Ali.

Ia menilai rupiah bisa menguat hingga Rp 10.800 di akhir tahun jika pemerintahan baru proinvestasi. "Mungkin saja sampai Rp 11 ribu. Saya melihat rupiah masih fragile di kuartal II karena tingginya kebutuhan dolar," kata Ali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement