REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta untuk segera melakukan perubahan dalam perjanjian jual beli gas oleh pemerintah China. Karena, kerugian negara atas penjualan gas murah ke China per tahun sekitar Rp 500 triliun.
"Harus ada pihak yang bertangggung jawab atas penjualan gas murah ini selama 25 tahun. Di negara manapun tidak ada yang mengunci mati kontrak harga gas, termasuk di negara komunis sekalipun," tegas pengamat Migas dari Universitas Indonesia (UI) Kurtubi dalam diskusi yang bertajuk 'Stop Penjualan Gas Murah ke Fujian China' yang diadakan oleh KAMERAD, di Jakarta, kemarin.
Akibat penjualan gas murah yang tak kunjung dinaikan harganya meski harga gas naik, kata dia, negara mengalami kerugian yang berdampak kepada kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, kata dia, pemerintah harus berani membentuk tim independen yang kredibel dengan anggota yang dipercaya masyarakat internasional. Tugasnya, kata dia, menginvestigasi proses survei, pembangunan energi tangguh, hingga penjualan gas murah.
Kepala Urusan Komunikasi dan Publikasi SKK Migas Heru Setyadi mengatakan, kalau untuk mengubah kontrak penjualan gas ke Cina, harus ada kesepakatan antara kedua negara itu. Karena, menurut dia, tidak mudah untuk mengubah kontrak tersebut.
"Asumsi untuk harga minyak, kita cari yang terbaik untuk negara, kontrak itu diubah harus dua belah pihak yang sepakat," katanya.
Seperti diketahui, pemerintah menjual gas dari Papua ke perusahaan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dengan harga yang tidak sewajaranya. Sedangkan harga jual gas di Indonesia sendiri lebih mahal.