REPUBLIKA.CO.ID, BATAM -- Daerah lain layak iri dengan Batam, karena kota ini memiliki banyak keistimewaan dari pemerintah, ujar Wakil Presiden RI 2004-2009 Jusuf Kalla saat mengisi seminar di Batam beberapa waktu lalu.
Bagaimana tidak, pemerintah memberikan keistimewaan kawasan perdagangan bebas yang kewenangannya lebih dari Sabang, atau daerah kawasan ekonomi khusus lain di Indonesia. Fasilitas industri yang dimiliki Batam juga relatif lebih baik dibanding Bekasi, Tangerang atau kawasan industri lainnya.
Batam dengan segala keunggulannya melenggang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berdasarkan catatan Bank Indonesia di 2013, laju pertumbuhan ekonomi Kepri (yang lebih banyak disumbang Batam) mencapai 6,13 persen, di atas nasional yang hanya sekitar 5,78 persen.
Tapi, sayang, ada sesuatu yang menyebabkan "keistimewaan" Batam tidak dirasakan seluruh warganya, karena masih banyak warga, terutama di pesisir yang masih hidup dalam keterbatasan tanpa MCK dan fasilitas vital lainnya.
Pengamat ekonomi Faisal Basri menilai pelaksanaan FTZ Batam mengecewakan. Batam yang seharusnya menjadi kawasan industri justru berubah jadi kawasan perdagangan.
Industri yang tumbuh justru hanya sebatas "tukang jahit", yaitu merakit bahan pokok yang diimpor. Dan hasil rakitannya kembali diekspor ke luar negeri. Tidak menyentuh langsung pada pengembangan industri dalam negeri.
"Kepri hanya menjadi industri 'tukang jahit', hampir seluruh komponen produksinya diimpor dari luar, kemudian dirakit di Batam, lalu diekspor kembali, sehingga nilai impor lebih tinggi ketimbang ekspor," kata Faisal.
Pertumbuhan ekonomi Batam justru didukung sektor konsumsi, dengan nilai ekspor lebih rendah dibanding impor.